Part 1
.
.
.
Jakarta, 2005...
Kedua anak itu dengan cerianya saling kejar-kejaran. Anak
perempuan yang giliran mengejar anak laki-laki tampak nggak suka. Anak
perempuan itu bernama Sivia. Sekarang ia duduk di bangku kelas dua SD. Dengan
nafas yang ngos-ngosan ia berusaha menangkap anak laki-laki yang bernama
Gabriel. Gabriel adalah sahabatnya. Entah mengapa keduanya bisa akrab.
“Gabriel!! Jangan lari dong! Aku capek kejar kamu terus!”
Teriak Sivia.
Gabriel yang tertawa sambil berlari kini bersembunyi di
balik pohon yang rindang. Ia melakukan hal ini untuk membuat Sivia penasaran
dimana ia berada. Dan benar saja! Sivia yang lagi kesal menjadi penasaran
karena nggak tau dimana keberadaan Gabriel. Masalahnya, ia takut pulang sendiri
jika seandainya Gabriel meninggalkannya.
“Iyel!! Kamu dimana??!” Teriak Sivia.
Kedua kaki kecilnya berjalan ke sebuah tempat yang sepi.
Sivia sama sekali nggak takut berjalan di tempat itu. Sementara di balik pohon,
Gabriel merasa bersalah karena meninggalkan Sivia. Kalo Sivia menghilang
gimana? Apa yang harus ia katakan ke Mama Sivia kalau Sivia nggak bisa
ditemukan?
Gabriel keluar dari persembunyian dan mencari Sivia.
Tetapi usahanya nggak membuahkan hasil. Sivia belum juga ditemukan.
“Ini salahku. Kalo Sivia nggak bisa ditemukan gimana?”
Panik Gabriel.
Anak laki-kali itu duduk bersandar di bawah pohon. Kedua
kakinya ia selonjorkan. Angin sepoi-sepoi membuat kedua matanya terpejam.
Gabriel tidak tau kapan ia tertidur. Tau-taunya, ada suara anak perempuan yang
membangunkannya.
“Bangun woi! Napa kamu tidur?” Kata anak perempuan itu
yang tak lain adalah Sivia.
Gabriel pun terbangun dan lega karena Sivia nggak jadi
hilang. “Kamu kemana sih? Tadi aku cari kamu?” Tanya Gabriel.
Wajah Sivia yang kesal bertambah semakin kesal. Untuk apa
Gabriel bertanya seperti itu? Harusnya ia yang bertanya ke Gabriel. Gabriel kan
yang meninggalkannya.
“Harusnya aku yang nanya, bukan kamu!” Kesal Sivia dan
meninggalkan Gabriel.
“Eh, kamu mau kemana?” Tanya Gabriel. Ia menarik tangan
Sivia.
“Pulang aja yuk! Ntar lagi mau malem. Nanti Mama marahin
aku. Yuk!”
Akhirnya, Sivia dan Gabriel memilih untuk pulang
berhubung waktu bermain yang udah mulai habis. Seperti biasa. Sivia dan Gabriel
tertawa dan bercanda. Mereka selalu melakukan hal itu. Sebenarnya Sivia banyak
mempunyai teman cewek. Tapi ia lebih suka bermain bersama Gabriel. Kata Mama,
Sivia nanti kalo udah besar bisa jadi cewek tomboi karena suka bermain bersama
anak laki-laki dan suka memainkan mainin
anak laki-laki.
Tanpa mereka sadari, ada anak laki-laki yang sedaritadi
memerhatikan mereka. Anak laki-laki itu tersenyum seperti mengharapkan sesuatu.
Lalu ia pergi meninggalkan tempat itu dan kembali menuju rumahnya.
***
Jakarta... Saat ini....
Sang surya tampak
malu-malu menampakkan sinarnya. Ia masih bersembunyi di ufuk timur dan nggak
tau kapan naiknya. Mungkin dikarenakan cuaca Kota Jakarta sedang tidak cerah.
Memang, bulan-bulan ini cuaca Kota Jakarta sedang tidak cerah. Hujan juga
sering melanda Kota Jakarta yang mengakibatkan banjir bandang.
Pagi ini, hujan
nggak terlalu deras. Tapi sama saja dinamakan hujan. Cuaca yang nggak cerah ini
bisa membuat sebagian orang yang seharusnya beraktivitas malah sibuk dengan
mimpi masing-masing. Coba deh bayangkan kalo kita mau sekolah, hujan mengguyur
tempat kita dan kita pasti malas buat bangun. Manalagi air dinginnya minta
ampun. Jadinya lebih memilih tidur saja daripada sekolah.
Perumahan Asri
Kencana seperti biasa mulai ramai dikarenakan aktivitas yang biasanya dilakukan
oleh sang pekerja ataupun anak-anak yang hendak berangkat sekolah. Walau rintik
hujan membasahi jalan perumahan itu, tidak ada alasan buat mereka malas
melakukan aktivitas.
Sebuah rumah
sederhana yang termasuk bagian dari Perumahan Asri Kencana tampak sibuk. Suara
seorang wanita yang udah serak mulai frustrasi membangunkan putrinya yang nggak
mau bangun-bangun. Jam segini belum juga bangun? Setengah jam lagi gerbang
sekolah akan ditutup. Wanita itu akhirnya mengguncang-guncangkan putrinya.
“Via.. Bangun!
Nanti kamu telat!” Kata Izza, wanita tadi.
Dengan mata yang
sangat berat, Sivia, anak dari wanita yang bernama Izza akhirnya terbangun
setelah rela meninggalkan mimpi indah. Sivia menguap dan mengerjap-erjapkan
mata. Berusaha mengetahui apakah ia berada di alam mimpi atau alam nyata.
“Kemarin kamu
tidurnya jam berapa sih? Kenapa kamu sampai telat bangun kayak gini? Untung
kakakmu nggak ada kuliah pagi.” Omel Izza yang tentunya nggak di dengar sama
Sivia.
“Aduh, Ma.. Jam
berapa sih sekarang? Tadi Via lagi mimpiin cowok ganteng yang dengan senang
hati ajak Via main basket. Lah.. Gara-gara Mama, jadinya Via nggak jadi main
deh sama dia. Huh, Mama gimana sih?”
Giliran Sivia yang
ngomel dan Izza langsung menyeret Sivia menuju kamar mandi. Izza sudah nggak
tahan sama sifat putrinya yang sulit untuk bangun pagi.
Gadis seperti Sivia
termasuk ke dalam kategori gadis yang beruntung. Selain memiliki paras wajah
yang cantik, tinggi, dan pintar, Sivia jago bermain basket. Ia menyukai
olahraga basket sejak ia menduduki kelas satu SMP. Waktu itu, Sivia iseng milih
ekskull basket dan pada akhirnya Sivia menjadi jago bermain basket dan sering
dijadikan andalan oleh timnya.
Sekarang ini, Sivia
bersekolah di SMA swasta yang termasuk salah satu sekolah favorite di Jakarta.
SMA Value namanya. Sivia menduduki kelas satu SMA dan berhasil masuk ke dalam
kelas IPA. Karena SMA Value mengikuti ajaran baru, jadi penjurusan dilakukan
sejak kelas satu.
Sivia tinggal
bersama Mama, Papa dan Kakak lelaki yang bernama Rio, yang sekarang sedang
menempuh kuliah di Universitas Value.
Sahabat yang paling
dekat dengannya adalah Gabriel. Ia dan Gabriel hampir sepuluh tahun bersahabat.
Sekolah mereka pun dari SD hingga SMA sama. Orang mengira mereka adalah
sepasang kekasih, tapi nyatanya bukan. Sivia dan Gabriel hanya sahabat, bukan
pacar.
“Morning mum! Abang
Rio yang gue sayang!” Sapa Sivia. Cewek itu siap dengan seragam putih
abu-abunya.
“Pagi sayang! Mama
nggak tanggung lho kalo nanti kamu telat.” Kata Izza. Ia mengambilkan Sivia
sepiring nasi goreng.
Sivia duduk di
antara Izza dan Rio. Hari ini Papanya nggak ada karena ada tugas di luar Kota. “Nggak apa kok, Ma! Via nggak bakal telat.
Telat sekali pun Via dibolehin masuk sekolah.” Kata Sivia seraya memakan nasi
goreng lezat buatan Izza.
“Ya sudah. Eh,
nanti kamu diantar sama Kak Rio. Soalnya tadi Gabriel udah pergi duluan karena
sekarang ada jadwal piketnya.” Kata Izza.
“Oh, oke-oke.” Kata
Sivia yang mulutnya dipenuhi nasi goreng.
Rio yang tadi diam
mulai bicara. Kakak Sivia itu emang sedikit pendiam, tapi memiliki kecerdasan
yang luar biasa. Disamping itu, Rio banyak memiliki fans. Banyak cewek-cewek
yang menyukainya karena wajah Rio sangatlah cakep.
“Makannya
pelan-pelan. Ntar keselek.” Nasehat Rio.
“Halah! Gue nggak
bakal keselek. Lagipula kalo makan gue pelan-pelan, ntar gue telat lagi.” Kata
Sivia.
“Katanya kalo telat
nanti lo dijinin masuk ke dalam? Ya udah kalo gitu, lo telat-telatin aja.” Kata
Rio.
“Ish.. Kak Rio
ini..”
Sepiring nasi
goreng itu sudah habis dilahap Sivia. Rio yang juga udah selesai sarapan siap
mengantar adiknya itu. Umur mereka beda lima tahun. Walau begitu, Sivia sering
curhat ke kakaknya itu. Dan ternyata, cowok seperti Rio enak diajak curhat.
“Beruntung pintu
gerbang masih dibuka. Cepet sana masuk!” Suruh Rio.
“Oke kak!”
Sivia berlari
menuju kelasnya. Tepatnya di kelas 1IPA-2. Kalo kelas Gabriel berada di kelas
1IPA-3. Biasanya Sivia selalu mencari Gabriel di kelas itu. Tapi lama-kelamaan
ia tak melakukan aktivitas itu karena nanti takutnya ada gosip yang bilang kalo
ia diam-diam pacaran sama Gabriel.
Tapi walau begitu,
teman-teman Sivia pada curiga. Selama ini Sivia jarang deket sama cowok keuali
Gabriel dan Rio. Kata Sivia, dia sama sekali nggak pernah pacaran. Katanya,
pacaran itu hanya buang-buang waktu. Mending dipake buat belajar atau hal lain
yang bermanfaat. Tapi boleh jujur, Sivia sering iri sama teman-temannya yang
heboh bercerita sehabis ditembak cowok.
“Hai Vi! Tadi lo
nggak sama pacar lo itu kan?” Tanya Febby, teman bangku Sivia.
Sivia duduk di
bangkunya dan melepas tasnya. “Pacar? Gue nggak punya pacar.” Bantah Sivia.
Sivia tau siapa ‘pacar’ yang tadi disebut Febby. Siapa lagi kalo bukan Gabriel?
“Jangan bohong!
Siapa ayo ketua kelas 1IPA-3?”
“Ah, udah ah!
Gabriel bukan pacar gue. Kita hanya sahabatan. Lo sih yang nggak ngerti sama
hidup gue. Hidup lo sama hidup gue itu beda tau.”
“Tapi kan Vi, lo
itu cocok tau pacaran sama Gabriel.”
Sivia nggak
mempedulikan omongan Febby. Ia memilih mengeluarkan buku paket matematikanya.
Begini nih ciri-ciri anak yang rajin. Tiba-tiba Sivia teringat sesuatu.
“Astaga! Besok sore
ada pertandingan persahabatan antara SMA gue sama SMA Vincen! Kok gue bisa lupa
ya?” Kata Sivia.
“Lasing, lo asyik
mikirin Gabriel sih..” Kata Febby.
“Kalo gitu, gue
harus siap-siap. Kalo tim kami kalah, bakal malu kita dihadapan anak SMA Vincen
yang sok jago itu.”
Bel masuk berbunyi.
Semua murid masuk ke dalam kelas masing-masing dan siap menerima ‘santapan’
dari para guru.
***
Jam istirahat,
Sivia dan Febby langsung lari ke kantin karena kalo nggak cepat-cepat, nanti
kantinnya ramai dan mereka nggak dapet beli makanan. Dapet pun hanya sisa.
Untunglah, kantin pada hari ini nggak ramai kayak hari kemarin. Sivia dan Febby
jadi bisa beli makanan sepuasnya.
Mereka mencari
tempat duduk di ujung, yang paling sepi. Sivia membeli pisang cokelat, molen
dan tahu isi sama jus jeruk dan Febby membeli soto dan es teh.
Ketika mereka
sedang asyik-asyiknya makan, mereka mendengar suara dari anak-anak yang juga
lagi makan di kantin. Anak-anak itu sedang membicarakann hubungan antara Sivia
dengan Gabriel.
“Vi, lama-kelamaan,
semua menganggap lo sama Gabriel pacaran.” Kata Febby.
Sivia mendengus
kesal seraya membanting sendok pada piring yang ada di hadapannya. “Sudah gue
bilang, gue sama Gabriel hanya berteman, nggak lebih. Gue bosen tau denger
gosip-gosip nggak jelas itu. Apa mereka nggak bisa pahan kalo gue itu hanya
sahabatan sama Gabriel? Mata mereka tuh yang nggak bisa membedain antara
pacaran sama sahabatan.” Omel Sivia dan dia nggak nafsu makan.
“Ya..Ya.. Gue tau,
Vi. Lo sama Gabriel hanya sahabatan. Makanya, lo nyari pacar dong biar gosip
nggak jelas itu bisa hilang.”
Sejauh ini Sivia
belum pernah berkeingin mempunyai pacar. Jomblo? Why not? Sivia cuek-cuek aja
diolok sama orang. Yang katanya nggak laku lah, kuper sama cowok, dan lain
sebagainya. Tapi boleh juga kan mencoba mencari cowok yang kita sukai lalu kalo
cowok yang kita sukai itu nembak kita, apa salahnya kita terima?
“Oke-oke. Sekarang
gue udah mau pacaran. Tapi masalahnya, gue nggak pernah nyimpen perasaan sama
cowok. Suka sih pernah, tapi nggak punya pikiran untuk pacaran.”
“Lo tenang aja. Gue
bakal bantu lo suka sama cowok. Asalkan lo mau pacaran dan setia sama cowok lo,
gimana?”
Sivia tampak
berpikir. Hmm.. Apa salahnya juga kan belajar mencintai cowok dengan
sungguh-sungguh?
***
“Yel!” Teriak
Sivia. Nafasnya ngos-ngosan karena berlari menuju tempat Gabriel berada.
Gabriel tersenyum
mendapati sahabatnya itu. “Lo kemana aja sih? Kangen tau gue nggak liat wajah
lo.” Ucapnya.
“Yeee.. Kayak nggak
pernah ketemu setahun aja.” Kata Sivia.
Seperti biasa,
Sivia selalu pulang bareng Gabriel. Dan ini menguatkan gosip yang mengatakan
kalo Sivia dan Gabriel pacaran diam-diam. Kalo gini caranya, lebih baik Sivia
mengaku dari awal kalo ia dan Gabriel adalah saudara tiri. Kan kalo begitu
nggak ada gosip-gosip aneh tentang dirinya sama Gabriel?
Motor Gabriel
melaju kencang membelah jalan raya. Gabriel berusaha mencari jalan yang sepi
agar nggak terjebak dalam kemacetan. Tapi kan yang namanya Jakarta nggak
jauh-jauh lah dari kata macet.
“Lho? Kita mau
kemana? Kok lo nggak belokin motor lo sih? Itu kan jalan pulangnya.” Tanya
Sivia.
“Gue mau ajak lo
pergi ke suatu tempat.” Jawab Gabriel.
Kok Gabriel jadi
misterius gitu ya? Pikir Sivia. Ah, tapi nggak apa-apa lah. Pasti Gabriel mau
memberi kejutan yang tak terduga. Dulu, di ulang tahunnya yang keempat belas,
Sivia dibuat surprise sama Gabriel. Cowok itu yang menjadikan hari
ulangtahunnya sangat berarti. Jadi, Gabriel sangat penting ya dalam kehidupan
Sivia?
Sampai di sebuah
tempat yang sepi. Gabriel memberhentikan motornya lalu mengajak Sivia masuk ke
dalam tempat yang ditutupi semak-semak yang banyak.
“Kita ada dimana?
Kok gue familiar ya sama tempat ini?” Tanya Sivia.
Gabriel nggak
jawab. Melainkan menggenggam tangan Sivia dan menuntut Sivia menuju di balik
semak-semak itu.
Dan....
Sivia nggak bisa
berhenti tersenyum melihat tempat itu.
Gabriel masih ingat
aja! Senyum Sivia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar