Part 8
.
.
.
“Hei!”
Jantungnya serasa
berhenti berdetak mendengar suara seorang cowok yang terdengar lembut di
telinganya. Dengan gugup, Sivia membalikkan badan dan mendapati Alvin yang
tersenyum lebar. Tapi, seketika itu juga tubuhnya melemas ketika melihat
seorang cewek cantik yang tengah dirangkul Alvin. Zevana ya? Siapa lagi kalo bukan
Zevana.
Kalo gini caranya,
kenapa Alvin menyapanya? Mending Alvin sendirian dan nggak membawa pacarnya. Puas lo kak! Gue cemburu liat lo merangkul
kak Zevana.. Batin Sivia yang merasa yakin kalo dirinya itu menyukai kakak
kelasnya yang bernama Alvin.
“Hei! Lo cewek
kemarin kan? Ini udah bel. Lo nggak kebagian nasi goreng?” Tanya Alvin.
Ingin saja Sivia
tertawa mendengar pertanyaan Alvin. Ternyata Alvin masih ingat dengan kejadian
kemarin. Sivia sangat senang.
“Nggak kok kak. Aku
nggak niat beli nasi goreng.” Jawab Sivia berusaha tersenyum dan menyembunyikan
kecemburuannya.
“Oh ya udah, yuk
say!” Kata Alvin seraya mengajak Zevana pergi dari tempat itu. Zevana sempat
menatap sinis ke arah Sivia yang juga menatap sinis ke arah Zevana.
Huh! Mentang-mentang dia cantik, oke, seksi, berbakat dan
dengan mudahnya bisa mendapatkan kak Alvin! Awas! Gue bakal gantiin posisi lo
di hati kak Alvin! Ancam Sivia
walau nggak yakin. Sivia pun berjalan menuju tempat Ify berada.
“Lho Vi? Lo nggak
beli apa-apa?” Tanya Ify heran melihat tangan Sivia yang kosong.
“Nggak. Eh, tadi
gue ketemu kakak ganteng lho..” Kata Sivia.
Karena nggak mau
mendapat hukuman dari Bu Rosida, mereka ngobrol sambil berjalan. Seperti tadi.
Ify penasaran siapa kakak ganteng yang dimaksud Sivia. Tapi ia yakin kakak
ganteng itu adalah Alvin.
“Siapa Vi?” Tanya
Ify.
“Kasih tau nggak
ya?”
Keduanya sampai di
kelas dan melihat Shilla yang sedang tertawa dengan Agni. Sial! Tampaknya
mereka bahagia. Baik Ify maupun Sivia berusaha cuek dan tidak menganggap Shilla
ada bersama Agni.
“Lo pasti nggak
percaya Fy kalo tadi gue ketemu sama kak Cakka!” Kata Sivia.
Tentu saja Ify
langsung membelakakan matanya. “Hah? Serius? Ih, envy gue.” Ucapnya.
“Hehe.. Kak Cakka
makin ganteng aja. Fy, lo yakin bisa mendapatkan kak Cakka? Saingan lo banyak
tau..” Kata Sivia.
Ify tersenyum.
Seakan-akan ucapan Sivia tadi hanyalah masalah kecil. “Asalkan kak Cakka
jomblo, semuanya akan baik-baik saja.” Ucapnya.
***
Atas perintah Agni,
Zarra Girls berkumpul di markasnya, yaitu di tempat duduk kantin yang paling
ujung. Hanya Zarra Girls saja yang boleh duduk di tempat itu. Siapapun yang
duduk disana selain Zarra Girls, bakal mendapat hukuman yaitu berurusan dengan
Agni.
Kini, Zarra Girls
hanya ada empat anggota, yaitu Agni, Zevana, Oik dan Zahra. Satu anggota mereka
telah kabur. Namun, Agni senang kalo Dea keluar dari gengnya.
“Ag, kita mau
bicarain apa? Penting kah? Kalo kita ketahuan bolos gimana?” Tanya Zahra
ketakutan. Zahra adalah satu-satunya anggota Zarra Girls yang peduli dengan
pelajaran dan takut mendapat nilai jelek.
“Lo tuh, khawatir
banget sama pelajaran.” Sindir Oik.
Zahra memelototi
Oik. Sementara Oik cuma nyengir. Tapi ia sangat beruntung memilik sahabat
seperti Zahra. Zahralah tempat ia bertanya tentang pelajaran. PR? Jelas! Setiap
hari Oik mencotek hasil pekerjaan Zahra. Ulangan pun kalo diberi kesempatan
ngelirik teman Zahra bakal kasih dia jawaban.
“Ini semua tentang
Dea!” Kata Agni mulai serius.
Mendengar sang
ketua menyebut nama ‘Dea’, semuanya terdiam. Mereka merasa Dea bukan sahabat
mereka lagi. Dea lari begitu saja demi kebersamaannya dengan cowoknya yang
bernama Rio dan melupakan Zarra Girls. Ekskul cheers pun ia hentikan tanpa
adanya alasan.
“Jadi, apa kalian
setuju kalo Dea kita keluarkan dari Zarra Girls dan mencari anggota baru?”
Tanya Agni.
Semuanya terdiam.
Lalu Zevana menjawab, “Terserah lo deh Ag.”
Jawaban Zevana
disetujui oleh Oik dan Zahra. Agni mengangguk puas. Dea resmi ia keluarkan dari
gengnya. Tidak peduli kalo suatu saat nanti Dea akan kembali lagi dan meminta
untuk gabung, Agni nggak akan menerimanya.
“Tapi Ag, siapa
yang pantas gantiin Dea?” Tanya Oik.
Yang ditanya
tersenyum penuh misteri. “Sepertinya gue udah menemukan orang yang tepat untuk
menggantikan Dea.” Ucapnya.
***
“Shilla!” Seru Ify
bertepatan dengan bunyi bel pulang.
Merasa dipanggil,
Shilla menoleh kebelakang dan menatap sinis wajah Ify. Ify tidak suka dengan
tatapan yang tidak biasa dari Shilla itu. Apa.. Apa Shilla sudah berubah?
“Ngapain manggil
gue?” Tanya Shilla ketus.
Di samping Ify, ada
Sivia yang ingin sekali mencakar wajah Shilla. Emosi Sivia gampang naik dan
Sivia nggak bisa menahan emosinya kalo nggak ada Ify. Sementara Ify mencoba
sabar.
“Shill, lo kok
berubah ya?” Tanya Ify berusaha tenang.
“Berubah?” Shilla
tertawa. “Hahaha.. Inilah gue yang sebenarnya.. Shilla bukanlah cewek yang polos dan pendiam. Shilla
adalah cewek tercantik dan teroke di sekolah ini. Dan satu lagi..” Shilla
menatap tajam Sivia. “Lo nggak pantas buat Alvin! Alvin adalah cowok gue. Walau
dia sudah punya pacar, gue nggak segan-segan nyingkir Zevana dari Alvin!”
Setelah mengucapkan
kalimat pedas itu, Shilla meninggalkan Sivia dan Ify. Sivia menatap kepergian
Shilla dengan tidak percaya sekaligus kaget. Kaget dengan ucapan Shilla tadi. Lo nggak pantas buat Alvin! Alvin adalah
cowok gue. Entah apa yang kini dipikirkan oleh gadis itu. Namun, kedua mata
Sivia berkaca-kaca.
“Vi..” Ify memegang
pundak Sivia. “Jangan emosi. Shilla ternyata bukan sahabat kita. Dan tentang
kak Alvin, sebaiknya nggak usah dipikirkan. Gue yakin kak Alvin nggak akan mau
sama cewek seperti Shilla.” Ucapnya.
Sivia tersenyum.
“Thanks Fy. Yuk kita pulang.”
Keduanya pun
berjalan keluar kelas. Ponsel Sivia berdering. Sedaritadi Ayahnya menelponnya
karena ia lama banget keluarnya. Bisa
nggak sih Papa nggak usah cerewet? Batin Sivia.
“Fy, gue pulang
dulu ya.. Papa lo mana?” Tanya Sivia.
Ify nggak menjawab.
Nggak tau kenapa, sepertinya hari ini Ayahnya nggak bisa menjemputnya.
Buktinya, tanda-tanda keberadaan motor buntut itu nggak ada. Papa sok sibuk dan nggak pernah mikirin anak
sematawayangnya ini..
Kini Ify sendirian.
Sivia sudah pulang bersama Ayahnya. Ify duduk di tempat duduk berbahan semen
yang sengaja dibuat sebagai tempat duduk bagi murid-murid yang menungu
jemputan. Sesekali matanya melihat ratusan motor yang keluar dari parkiran.
Motor itu keren-keren.
Huh! Andaikan aja gue bisa naik motor, bisa pun gue nggak
bakal dibelikan motor sama Papa.. Atau andaikan saja gue diantar jemput sama
kak Cakka.. Ify yakin kalo
seandainya ia menjadi kekasih Cakka, tentu Cakka selalu mengantar jemputnya,
dan hidupnya akan bahagia selama-lamanya. Tapi sayang, imajinasinya terlalu
berlebihan. Seorang gadis biasa seperti dirinya mustahil mendapatkan pangeran
tampan semacam Cakka.
Tanpa sengaja, Ify
menangkap sepasang kekasih yang saling bercanda. Ify tersenyum sinis melihat
Rio dan Dea yang bahagia. Tidak seperti dirinya yang selalu menderita.
Waktu berlalu
begitu cepat. Matahari yang sinarnya sangat menyengat kulit berubah menjadi
adem. Ify sadar. Sekarang sudah hampir sore dan ia masih ada di sekolah. Ify
mendengus kesal. Andaikan aja ia punya uang lebih, ia memilih pulang naik
angkutan umum.
“Papa kemana sih?
Mana perut gue laper ini!” Kesal Ify.
Tiba-tiba wajahnya
berubah menjadi cerah tatkala ia melihat anak-anak basket yang sepertinya mau
latihan. Ify tersenyum malu saat ia melihat seorang cowok cakep yang tengah
memutar bola basketnya dengan jari telunjuknya. Kak Cakka! Ganteng sekali..
Sebenarnya Ify
ingin sekali melihat Cakka latihan. Tapi ia malu. Siapa dirinya? Ia bukan
siapa-siapa. Ify nggak mau harga dirinya turun saat ia diejek teman-teman
Cakka. Hahaha.. Mana mungkin cewek sepertinya bisa mendapatkan Cakka ataupun
cowok macam Cakka lainnya seperti Alvin dan Rio.
Lima belas menit
berlalu. Hatinya gelisah. Perutnya lapar. Tenggorokannya kering. Rasanya
seperti mau pingsan saja. Nggak tau kenapa, wajahnya berubah menjadi pucat.
Kepalanya berputar-putar dan penglihatannya remang-remang. Sakit.. Rintih Ify dan jatuh seketika. Namun, ia tidak jatuh di
tanah. Melainkan jatuh di dalam pelukan seseorang.
***
Ngaret banget tuh cewek! Gumam Agni. Jam ditangannya sudah menunjukkan hampir jam
empat sore. Seharusnya, cewek itu datang jam tiga! Bukan jam empat. Anggota Zarra
yang lain berusaha menahan rasa penasarannya akan anggota baru Zarra Girls
pengganti Dea yang kata Agni sangat menakjubkan.
“Ag, siapa sih
cewek itu?” Tanya Oik yang perutnya mulai mules saking penasarannya.
“Iya Ag.
Jangan-jangan cewek itu mempermainkan kita lagi.” Tambah Zevana.
Agni jadi kesel
juga mendengar ocehan teman-temannya. “Bisa nggak sih kalian diam?” Bentaknya
dan semuanya pun terdiam.
“Haloo.. Sorry
telat..”
Suara manis nan
lembut itu mengagetkan empat anggota Zarra Girls. Agni tersenyum lebar
menyambut kedatangan Shilla. Dan.. Wau! Shilla tampak cantik sekali. Rambutnya
yang awalnya lurus berubah menjadi bergelombang dan kecokelatan. Make up Shilla
yang tipis menandakan kalo cewek itu nggak suka berdandan yang berlebihan.
“Ag.. Itu.. Itu..”
Tunjuk Oik nggak percaya.
Bahkan, Oik mengaku
kecantikannya nggak sebanding dengan kecantikan cewek itu. Buset! Cantik banget tuh cewek! Tapi.. Kok rasanya gue kayak pernah
lihat ya?
“Gue pernah lihat
dia sebelumnya!” Kata Zahra.
Agni tersenyum.
“Tentu saja. Gadis itu bernama Shilla. Manisa Aurora Yoshilla.. Anggota Zarra
Girls yang baru..” Ucapnya.
***
Dea menatap kosong
pemandangan yang ada didepannya. Sebuah tempat yang pengap dan sangat
membosankan. Dea mendengus kesal. Tidak seharusnya ia terkurung di kamarnya
ini. Kalo saja penyakit sialan itu sudah pergi dari tubuhnya, ia nggak akan
menderita seperti ini.
“De, lo terkena penyakit hemofilia. Yaitu darah lo yang
sukar membeku.” Jelas Rio.
Mendengar penjelasan Rio, Dea kaget. Hemofilia? Mengapa
ia bisa terkena penyakit itu? Bukannya ia hanya menderita anemia saja? Sekarang
Dea mengerti kalo Mama selalu melarangnya melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat membuatnya terluka. Tentu saja kalo ia berdarah, darahnya itu nggak
berhenti keluar dan membuatnya ia kehabisan darah.
“Yang membuat gue heran, seharusnya sejak lo lahir lo
terkena penyakit itu. Tapi, baru sekarang penyakit itu bermain-main di tubuh
lo.” Tambah Rio.
Dea jadi ingat saat ia sekarat dan mendengar Ibunya
berteriak minta darah karena darahnya mau habis. Ingatannya tentang kecelakaan
itu mulai pulih. Tapi, bukannya golongan darahnya dengan Ibunya atau Ayahnya
sama?
“Yo, golongan darah Dea apa?” Tanya Dea.
Yang ditanya nggak menjawab.
“Ya udah kalo Rio nggak mau jawab.”
Sebenarnya golongan darah gue apa sih? Pertanyaan itu membuat kepalanya sakit. Kok darah gue kayak langka gitu ya?
“Dea..” Panggil
Maylaf.
Dea tersenyum sedih
melihat kedatangan Ibunya. “Ma, golongan darah Dea apa?” Tanyanya.
Lagi-lagi, jawaban
itu nggak datang juga. Maylaf hanya diam sambil membelai lembut rambut
putrinya.
***
Pelan-pelan, ia
buka kedua matanya. Setelah sepenuhnya ia sadar, ia berusaha bangun dan duduk.
Namun, kepalanya masih sakit dan perutnya mual. Dari arah dapur, ia mencium
aroma masakan yang menggiurkan air ludah. Siapa
yang masak? Mama kah?
Sangat bodoh jika
ia berharap Mama yang ada di dapur dan memasak makanan kesukaannya. Siapa sih? Kok gue penasaran sekali ya?
Dan, rasa
penasarannya pun terjawab. Cewek itu melongo melihat seorang cowok yang membawa
sepiring goreng spesial yang baunya harum. Cowok itu tersenyum melihatnya yang
seperti tidak percaya dengan apa yang ia lakukan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar