expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 10 April 2015

One Hope ( Part 8 )



Part 8

.

.

.

“Hei!”

Jantungnya serasa berhenti berdetak mendengar suara seorang cowok yang terdengar lembut di telinganya. Dengan gugup, Sivia membalikkan badan dan mendapati Alvin yang tersenyum lebar. Tapi, seketika itu juga tubuhnya melemas ketika melihat seorang cewek cantik yang tengah dirangkul Alvin. Zevana ya? Siapa lagi kalo bukan Zevana.

Kalo gini caranya, kenapa Alvin menyapanya? Mending Alvin sendirian dan nggak membawa pacarnya. Puas lo kak! Gue cemburu liat lo merangkul kak Zevana.. Batin Sivia yang merasa yakin kalo dirinya itu menyukai kakak kelasnya yang bernama Alvin.

“Hei! Lo cewek kemarin kan? Ini udah bel. Lo nggak kebagian nasi goreng?” Tanya Alvin.

Ingin saja Sivia tertawa mendengar pertanyaan Alvin. Ternyata Alvin masih ingat dengan kejadian kemarin. Sivia sangat senang.

“Nggak kok kak. Aku nggak niat beli nasi goreng.” Jawab Sivia berusaha tersenyum dan menyembunyikan kecemburuannya.

“Oh ya udah, yuk say!” Kata Alvin seraya mengajak Zevana pergi dari tempat itu. Zevana sempat menatap sinis ke arah Sivia yang juga menatap sinis ke arah Zevana.

Huh! Mentang-mentang dia cantik, oke, seksi, berbakat dan dengan mudahnya bisa mendapatkan kak Alvin! Awas! Gue bakal gantiin posisi lo di hati kak Alvin! Ancam Sivia walau nggak yakin. Sivia pun berjalan menuju tempat Ify berada.

“Lho Vi? Lo nggak beli apa-apa?” Tanya Ify heran melihat tangan Sivia yang kosong.

“Nggak. Eh, tadi gue ketemu kakak ganteng lho..” Kata Sivia.

Karena nggak mau mendapat hukuman dari Bu Rosida, mereka ngobrol sambil berjalan. Seperti tadi. Ify penasaran siapa kakak ganteng yang dimaksud Sivia. Tapi ia yakin kakak ganteng itu adalah Alvin.

“Siapa Vi?” Tanya Ify.

“Kasih tau nggak ya?”

Keduanya sampai di kelas dan melihat Shilla yang sedang tertawa dengan Agni. Sial! Tampaknya mereka bahagia. Baik Ify maupun Sivia berusaha cuek dan tidak menganggap Shilla ada bersama Agni.

“Lo pasti nggak percaya Fy kalo tadi gue ketemu sama kak Cakka!” Kata Sivia.

Tentu saja Ify langsung membelakakan matanya. “Hah? Serius? Ih, envy gue.” Ucapnya.

“Hehe.. Kak Cakka makin ganteng aja. Fy, lo yakin bisa mendapatkan kak Cakka? Saingan lo banyak tau..” Kata Sivia.

Ify tersenyum. Seakan-akan ucapan Sivia tadi hanyalah masalah kecil. “Asalkan kak Cakka jomblo, semuanya akan baik-baik saja.” Ucapnya.

***

Atas perintah Agni, Zarra Girls berkumpul di markasnya, yaitu di tempat duduk kantin yang paling ujung. Hanya Zarra Girls saja yang boleh duduk di tempat itu. Siapapun yang duduk disana selain Zarra Girls, bakal mendapat hukuman yaitu berurusan dengan Agni.

Kini, Zarra Girls hanya ada empat anggota, yaitu Agni, Zevana, Oik dan Zahra. Satu anggota mereka telah kabur. Namun, Agni senang kalo Dea keluar dari gengnya.

“Ag, kita mau bicarain apa? Penting kah? Kalo kita ketahuan bolos gimana?” Tanya Zahra ketakutan. Zahra adalah satu-satunya anggota Zarra Girls yang peduli dengan pelajaran dan takut mendapat nilai jelek.

“Lo tuh, khawatir banget sama pelajaran.” Sindir Oik.

Zahra memelototi Oik. Sementara Oik cuma nyengir. Tapi ia sangat beruntung memilik sahabat seperti Zahra. Zahralah tempat ia bertanya tentang pelajaran. PR? Jelas! Setiap hari Oik mencotek hasil pekerjaan Zahra. Ulangan pun kalo diberi kesempatan ngelirik teman Zahra bakal kasih dia jawaban.

“Ini semua tentang Dea!” Kata Agni mulai serius.

Mendengar sang ketua menyebut nama ‘Dea’, semuanya terdiam. Mereka merasa Dea bukan sahabat mereka lagi. Dea lari begitu saja demi kebersamaannya dengan cowoknya yang bernama Rio dan melupakan Zarra Girls. Ekskul cheers pun ia hentikan tanpa adanya alasan.

“Jadi, apa kalian setuju kalo Dea kita keluarkan dari Zarra Girls dan mencari anggota baru?” Tanya Agni.

Semuanya terdiam. Lalu Zevana menjawab, “Terserah lo deh Ag.”

Jawaban Zevana disetujui oleh Oik dan Zahra. Agni mengangguk puas. Dea resmi ia keluarkan dari gengnya. Tidak peduli kalo suatu saat nanti Dea akan kembali lagi dan meminta untuk gabung, Agni nggak akan menerimanya.

“Tapi Ag, siapa yang pantas gantiin Dea?” Tanya Oik.

Yang ditanya tersenyum penuh misteri. “Sepertinya gue udah menemukan orang yang tepat untuk menggantikan Dea.” Ucapnya.

***

“Shilla!” Seru Ify bertepatan dengan bunyi bel pulang.

Merasa dipanggil, Shilla menoleh kebelakang dan menatap sinis wajah Ify. Ify tidak suka dengan tatapan yang tidak biasa dari Shilla itu. Apa.. Apa Shilla sudah berubah?

“Ngapain manggil gue?” Tanya Shilla ketus.

Di samping Ify, ada Sivia yang ingin sekali mencakar wajah Shilla. Emosi Sivia gampang naik dan Sivia nggak bisa menahan emosinya kalo nggak ada Ify. Sementara Ify mencoba sabar.

“Shill, lo kok berubah ya?” Tanya Ify berusaha tenang.

“Berubah?” Shilla tertawa. “Hahaha.. Inilah gue yang sebenarnya.. Shilla bukanlah cewek yang polos dan pendiam. Shilla adalah cewek tercantik dan teroke di sekolah ini. Dan satu lagi..” Shilla menatap tajam Sivia. “Lo nggak pantas buat Alvin! Alvin adalah cowok gue. Walau dia sudah punya pacar, gue nggak segan-segan nyingkir Zevana dari Alvin!”

Setelah mengucapkan kalimat pedas itu, Shilla meninggalkan Sivia dan Ify. Sivia menatap kepergian Shilla dengan tidak percaya sekaligus kaget. Kaget dengan ucapan Shilla tadi. Lo nggak pantas buat Alvin! Alvin adalah cowok gue. Entah apa yang kini dipikirkan oleh gadis itu. Namun, kedua mata Sivia berkaca-kaca.

“Vi..” Ify memegang pundak Sivia. “Jangan emosi. Shilla ternyata bukan sahabat kita. Dan tentang kak Alvin, sebaiknya nggak usah dipikirkan. Gue yakin kak Alvin nggak akan mau sama cewek seperti Shilla.” Ucapnya.

Sivia tersenyum. “Thanks Fy. Yuk kita pulang.”

Keduanya pun berjalan keluar kelas. Ponsel Sivia berdering. Sedaritadi Ayahnya menelponnya karena ia lama banget keluarnya. Bisa nggak sih Papa nggak usah cerewet? Batin Sivia.

“Fy, gue pulang dulu ya.. Papa lo mana?” Tanya Sivia.

Ify nggak menjawab. Nggak tau kenapa, sepertinya hari ini Ayahnya nggak bisa menjemputnya. Buktinya, tanda-tanda keberadaan motor buntut itu nggak ada. Papa sok sibuk dan nggak pernah mikirin anak sematawayangnya ini..

Kini Ify sendirian. Sivia sudah pulang bersama Ayahnya. Ify duduk di tempat duduk berbahan semen yang sengaja dibuat sebagai tempat duduk bagi murid-murid yang menungu jemputan. Sesekali matanya melihat ratusan motor yang keluar dari parkiran. Motor itu keren-keren.

Huh! Andaikan aja gue bisa naik motor, bisa pun gue nggak bakal dibelikan motor sama Papa.. Atau andaikan saja gue diantar jemput sama kak Cakka.. Ify yakin kalo seandainya ia menjadi kekasih Cakka, tentu Cakka selalu mengantar jemputnya, dan hidupnya akan bahagia selama-lamanya. Tapi sayang, imajinasinya terlalu berlebihan. Seorang gadis biasa seperti dirinya mustahil mendapatkan pangeran tampan semacam Cakka.

Tanpa sengaja, Ify menangkap sepasang kekasih yang saling bercanda. Ify tersenyum sinis melihat Rio dan Dea yang bahagia. Tidak seperti dirinya yang selalu menderita.

Waktu berlalu begitu cepat. Matahari yang sinarnya sangat menyengat kulit berubah menjadi adem. Ify sadar. Sekarang sudah hampir sore dan ia masih ada di sekolah. Ify mendengus kesal. Andaikan aja ia punya uang lebih, ia memilih pulang naik angkutan umum.

“Papa kemana sih? Mana perut gue laper ini!” Kesal Ify.

Tiba-tiba wajahnya berubah menjadi cerah tatkala ia melihat anak-anak basket yang sepertinya mau latihan. Ify tersenyum malu saat ia melihat seorang cowok cakep yang tengah memutar bola basketnya dengan jari telunjuknya. Kak Cakka! Ganteng sekali..

Sebenarnya Ify ingin sekali melihat Cakka latihan. Tapi ia malu. Siapa dirinya? Ia bukan siapa-siapa. Ify nggak mau harga dirinya turun saat ia diejek teman-teman Cakka. Hahaha.. Mana mungkin cewek sepertinya bisa mendapatkan Cakka ataupun cowok macam Cakka lainnya seperti Alvin dan Rio.

Lima belas menit berlalu. Hatinya gelisah. Perutnya lapar. Tenggorokannya kering. Rasanya seperti mau pingsan saja. Nggak tau kenapa, wajahnya berubah menjadi pucat. Kepalanya berputar-putar dan penglihatannya remang-remang. Sakit.. Rintih Ify dan jatuh seketika. Namun, ia tidak jatuh di tanah. Melainkan jatuh di dalam pelukan seseorang.

***

Ngaret banget tuh cewek! Gumam Agni. Jam ditangannya sudah menunjukkan hampir jam empat sore. Seharusnya, cewek itu datang jam tiga! Bukan jam empat. Anggota Zarra yang lain berusaha menahan rasa penasarannya akan anggota baru Zarra Girls pengganti Dea yang kata Agni sangat menakjubkan.

“Ag, siapa sih cewek itu?” Tanya Oik yang perutnya mulai mules saking penasarannya.

“Iya Ag. Jangan-jangan cewek itu mempermainkan kita lagi.” Tambah Zevana.

Agni jadi kesel juga mendengar ocehan teman-temannya. “Bisa nggak sih kalian diam?” Bentaknya dan semuanya pun terdiam.

“Haloo.. Sorry telat..”

Suara manis nan lembut itu mengagetkan empat anggota Zarra Girls. Agni tersenyum lebar menyambut kedatangan Shilla. Dan.. Wau! Shilla tampak cantik sekali. Rambutnya yang awalnya lurus berubah menjadi bergelombang dan kecokelatan. Make up Shilla yang tipis menandakan kalo cewek itu nggak suka berdandan yang berlebihan.

“Ag.. Itu.. Itu..” Tunjuk Oik nggak percaya.

Bahkan, Oik mengaku kecantikannya nggak sebanding dengan kecantikan cewek itu. Buset! Cantik banget tuh cewek! Tapi.. Kok rasanya gue kayak pernah lihat ya?

“Gue pernah lihat dia sebelumnya!” Kata Zahra.

Agni tersenyum. “Tentu saja. Gadis itu bernama Shilla. Manisa Aurora Yoshilla.. Anggota Zarra Girls yang baru..” Ucapnya.

***

Dea menatap kosong pemandangan yang ada didepannya. Sebuah tempat yang pengap dan sangat membosankan. Dea mendengus kesal. Tidak seharusnya ia terkurung di kamarnya ini. Kalo saja penyakit sialan itu sudah pergi dari tubuhnya, ia nggak akan menderita seperti ini.

“De, lo terkena penyakit hemofilia. Yaitu darah lo yang sukar membeku.” Jelas Rio.

Mendengar penjelasan Rio, Dea kaget. Hemofilia? Mengapa ia bisa terkena penyakit itu? Bukannya ia hanya menderita anemia saja? Sekarang Dea mengerti kalo Mama selalu melarangnya melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat membuatnya terluka. Tentu saja kalo ia berdarah, darahnya itu nggak berhenti keluar dan membuatnya ia kehabisan darah.

“Yang membuat gue heran, seharusnya sejak lo lahir lo terkena penyakit itu. Tapi, baru sekarang penyakit itu bermain-main di tubuh lo.” Tambah Rio.

Dea jadi ingat saat ia sekarat dan mendengar Ibunya berteriak minta darah karena darahnya mau habis. Ingatannya tentang kecelakaan itu mulai pulih. Tapi, bukannya golongan darahnya dengan Ibunya atau Ayahnya sama?

“Yo, golongan darah Dea apa?” Tanya Dea.

Yang ditanya nggak menjawab.

“Ya udah kalo Rio nggak mau jawab.”

Sebenarnya golongan darah gue apa sih? Pertanyaan itu membuat kepalanya sakit. Kok darah gue kayak langka gitu ya?

“Dea..” Panggil Maylaf.

Dea tersenyum sedih melihat kedatangan Ibunya. “Ma, golongan darah Dea apa?” Tanyanya.

Lagi-lagi, jawaban itu nggak datang juga. Maylaf hanya diam sambil membelai lembut rambut putrinya.

***

Pelan-pelan, ia buka kedua matanya. Setelah sepenuhnya ia sadar, ia berusaha bangun dan duduk. Namun, kepalanya masih sakit dan perutnya mual. Dari arah dapur, ia mencium aroma masakan yang menggiurkan air ludah. Siapa yang masak? Mama kah?

Sangat bodoh jika ia berharap Mama yang ada di dapur dan memasak makanan kesukaannya. Siapa sih? Kok gue penasaran sekali ya?

Dan, rasa penasarannya pun terjawab. Cewek itu melongo melihat seorang cowok yang membawa sepiring goreng spesial yang baunya harum. Cowok itu tersenyum melihatnya yang seperti tidak percaya dengan apa yang ia lakukan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar