Part
13
.
Beberapa
menit kemudian, Harry keluar dari ruang dokter setelah menjalani pemeriksaan
darah. Zayn yang penasaran langsung mendekati Harry dan bertanya pada lelaki
itu. “Apa yang terjadi? Bagaimana hasilnya?” Tanyanya.
Namun Harry tidak menjawab. Lelaki
itu malah menatap tajam sahabatnya sendiri. “Jangan dekati aku!” Bentaknya lalu
pergi meninggalkan Zayn yang tengah kebingungan. Ajaibnya, Tay dan Hannah
datang mendekati Zayn. Di rumah sakit ini juga merupakan rumah sakit tempat
Louis di rawat.
“Apa yang
terjadi? Harry sedang apa?” Tanya Tay.
Zayn tidak
bisa menceritakan kejadian yang telah menimpa Harry. “Kau tanyakan saja pada
Harry.” Ucapnya.
Tanpa
basa-basi, Tay berlari mengejar Harry. Saat tubuhnya sejajar dengan Harry,
Harry memberhentikan langkahnya. “Mengapa kau mengejarku?” Tanya Harry setengah
membentak.
Tay merasa
ada yang lain dari Harry. Jadi, perasaan tidak enaknya ternyata benar! Harry
telah berubah menjadi lelaki pemarah dan tidak mau didekati oleh siapapun.
“Harry, aku
adikmu. Jadi aku harus tau apa yang sedang terjadi denganmu.” Jawab Tay.
Harry
tersenyum sinis. “Meskipun kau adalah Ibuku, aku tidak akan mau
menceritakannya.” Ucapnya lalu pergi meninggalkan Tay. Tay menatap kepergian
Harry dengan dada yang sesak.
Hannah dan
Zayn berjalan mendekati Tay. “Sudahlah Tay. Harry sedang terpuruk karena tadi
pagi Ibunya meninggal.” Kata Zayn.
Tay kaget
mendengar perkataan Zayn. “Benarkah? Tapi mengapa Harry seperti sedang
memeriksakan diri di rumah sakit? Apakah dia terkena penyakit?” Tanyanya.
Zayn menggeleng
lemah dan itu membuat Tay didera rasa kebingungan, kepenasaran, kekhawatiran
dan rasa sedih yang ia tunjukan pada Harry. Tay berharap Harry akan baik-baik
saja dan tidak menderita penyakit seperti Louis. Ya, semoga.
***
“Harry!”
Ucap Tamara yang melihat Harry datang dan langsung duduk di sofa ruang tamu.
Tamara berjalan mendekati Harry seraya duduk di samping Harry. “Kau habis
darimana? Dan bisakah kau jelaskan mengapa Ibumu bisa meninggal?” Tanyanya.
Harry tidak
menjawab pertanyaan Tamara, melainkan memberikan Tamara secarik kertas
misterius tadi. Tamara menerima kertas itu lalu membacanya. “Siapa yang
menulis?” Tanya Tamara setelah sHannahsai membaca surat itu.
Harry
menatap Tamara yang sepertinya butuh jawabannya. “Aku tidak tau. Yang jelas
surat itu ada hubungannya dengan akal licikmu!” Ucapnya lalu masuk ke dalam
kamar. Hari ini Harry butuh istirahat. Ia tidak peduli dengan keadaan Ibunya
dan ia tidak peduli kapan Ibunya akan dikuburkan. Intinya, Harry sudah tidak
peduli dengan semuanya, karena ia merasa hidupnya ini sangatlah menyakitkan dan
ia tidak pernah sedikitpun merasakan kebahagiaan.
Sementara
di luar sana, Tamara tetap memegang secarik kertas itu. Entah apa yang ada
dipikiran gadis itu. Tapi jika diperhatikan, gadis itu sedang tersenyum. Senyum
yang sulit diterjemahkan oleh siapapun.
***
Di rumah
sakit, Zayn mengantar Tay pulang karena hari itu Tay lelah sekali. Sementara Hannah,
gadis itu memutuskan untuk pergi ke kamar Louis. Padahal, hari ini ada jam
kuliahnya. Namun Hannahanor malas untuk kuliah. Ia sudah berjanji untuk merawat
dan menjaga Louis sampai Louis sembuh.
Sesampai di
kamar Louis, Tay melihat ada Niall yang sedang bercanda dengan Louis. Niall
sedikit kaget akan kedatangan Hannah. “Niall, bisakah kau pergi dari tempat
ini? Aku ingin berdua dengan Louis.” Ucapnya.
Mau tidak
mau, terpaksa Niall mengangguk. Lelaki itupun pergi meninggalkan kamar Louis.
Kini hanya ada Louis dan Hannah saja. “Lou, bagaimana keadaanmu?” Tanya Hannah.
“Sudah
mulai membaik.” Jawab Louis.
Tentu saja Hannah
merasa senang. Ia yakin sekali penyakit Louis akan segera sembuh walau
kemungkinannya kecil. Tapi manusia harus berusaha dan Tuhan yang menentukannya.
“Ada yang
bisa aku bantu?” Tanya Hannah.
Louis
terdiam, lalu ia menjawab. “Aku ingin keluar. Bisakah kau membantuku mendorong
kursi roda? Aku bosan berada di kamar ini.” Jawabnya.
Hannah
langsung memanggil suster. Untunglah suster mengizinkan Louis untuk pergi.
Dengan dibantu dua suster, Louis berhasil duduk di kursi roda. Hannah pun
mendorong kursi roda itu dengan hati-hati.
“Kau ingin
kemana?” Tanya Hannah.
“Aku ingin
ke taman.” Jawab Louis.
Di belakang
rumah sakit ada taman bunga kecil yang indah. Hannah tau tempatnya. Gadis itu
mendorong kursi roda yang baginya lumayan berat itu. Namun Hannah tidak mau
menyerah. Ia akan melakukan apapun untuk membahagiakan Louis. Tanpa
sepengetahuan keduanya, Niall memerhatikan Hannah dan Louis. Hannah sangat
bahagia disana. Niall tersenyum sedih. Entah mengapa kedua kakinya memaksanya
untuk mengikuti Hannah dan Louis.
Setelah
sampai di taman bunga, Louis menyuruh Hannah untuk berhenti. Bagi Louis,
pemandangan ini sungguh indah. Sudah lama ia tidak merasakan kesejukan seperti
ini.
“Lou..”
Kata Hannah ragu.
“Ada apa?”
Tanya Louis.
“Ng.. Kau
akan berjuang kan agar penyakitmu hilang?” Tanya Hannah.
Louis
tersenyum miris. “Entahlah. Tapi aku merasa kalau umurku sudah tidak lama
lagi.” Ucapnya.
Hal inilah
yang sangat dibenci Hannah. Gadis itu sepertinya ingin menangis. Jika memang Louis
harus pergi, akankah ia sanggup menjalani hidupnya tanpa Louis?
“Kau
kenapa? Jika aku mati, kau tidak perlu menangis. Aku tidak pantas kau tangisi.”
Kata Louis.
Setitik
demi setitik air keluar dari matanya dan membasahi pipinya yang pucat. Melihat
hal itu, Louis tampak kasihan dengan Hannah. Ia sedih melihat gadis itu
menangis. Louis tau, Hannah terlalu mencintainya dan tidak pernah berhenti
mencintainya meski ia tidak mau menerima cinta Hannah. Louis terdiam dan
berpikir. Akankan ia membuka hatinya untuk Hannah agar gadis itu bahagia?
“Hannah,
jangan menangis. Baiklah. Aku akan berusaha untuk menang dari penyakitku ini.”
Kata Louis. Lelaki itu membelai rambut panjang Hannah. Tentu saja Hannah kaget
dibuatnya. Baru kali ini Louis lembut padanya.
Bisa ia
lihat saat ini Louis sedang tersenyum melihatnya. Hal ini membuat hati Hannah
bahagia. Ia berharap Louis mau membuka hati untuknya. “Terimakasih Lou. Aku
akan terus berdo’a agar kau cepat sembuh.” Ucapnya.
Dari jauh,
Niall berusaha menahan kecemburuan dan kesedihannya. Perasaan takut tiba-tiba
muncul begitu saja. Takut jika seandainya Louis mulai menyukai Hannah. Takut
jika seandainya mereka menjadi sepasang kekasih. Jika memang hal itu terjadi,
Niall tidak bisa berbuat apa-apa selain mendo’akan agar mereka selalu bahagia.
Ya,
bahagianya Hannah adalah bahagianya juga.
***
Setelah
kematian Ibunya, Harry memilih untuk meninggalkan rumahnya karena ia tidak mau
tinggal berdua dengan Tamara, meskipun Tamara memaksanya untuk tetap tinggal.
Harry pun menemukan rumah kecil yang sepertinya nyaman untuk ia tinggali.
Ternyata rumah itu kosong dan sedang disewa dengan harga yang cukup murah.
Harry memilih untuk menyewa rumah itu. Rumah yang letaknya jauh dari rumah
lamanya. Rumah yang tersembunyi dari orang-orang yang dikenalinya. Termasuk
Zayn, Niall, Liam, Louis ataupun Tay.
Ketika
Harry mengingat Tay, ia langsung sedih. Bagaimana pun juga, Harry sangat
merindukan gadis itu. Gadis yang ia cintai. Ya, Harry sudah mengaku bahwa
dirinya mencintai Tay dan cintanya kali ini terlarang. Apa jadinya jika seorang
kakak menyukai adiknya sendiri?
Tubuhnya
semakin menggigil saat malam mulai mendatanginya. Harry berusaha untuk kuat dan
berusaha melawan keadaan. Untunglah ada selimut tebal yang bisa melindunginya
dari hawa dingin. Harry memilih untuk diam di kamar dan mengunci pintu
kamarnya. Tanpa terasa, setitik demi setitik air mata keluar dari celah-celah
matanya. Buru-buru Harry mengusap air mata itu karena baginya air mata itu
adalah sumber kHannahmahan.
Entah
mengapa Harry merasa ada seseorang di luar sana. Seseorang yang tengah berusaha
untuk masuk ke dalam rumahnya. Perlahan, Harry bangkit dari duduknya dan
mengintip di jendela kamarnya. Ketika ia melihat di luar pagar rumahnya,
jantungnya seakan-akan mau copot. Cepat-cepat Harry menutup gorden jendelanya.
Mengapa..
Mengapa gadis itu kemari? Darimana gadis itu mengetahui tempat tinggal barunya?
Harry tidak berhenti-berhentinya bertanya pada dirinya sendiri.
***
‘Apa ini
rumahnya?’ Batin Tay.
Setelah
berusaha mencari, akhirnya Tay dapat menemukan alamat rumah baru Harry. Tay
mendapat alamatnya dari seorang Ibu yang sudah lama tinggal di daerah yang sepi
ini. Kata Ibu itu, ada seorang lelaki berambut keriting yang sedang mencari
tempat tinggal dan akhirnya menyewa di salah satu rumah yang ada di daerah ini.
***
Setelah
berusaha mencari, akhirnya Tay dapat menemukan alamat rumah baru Harry. Tay
mendapat alamatnya dari seorang Ibu yang sudah lama tinggal di daerah yang sepi
ini. Kata Ibu itu, ada seorang lelaki berambut keriting yang sedang mencari
tempat tinggal dan akhirnya menyewa di salah satu rumah yang ada di daerah ini.
Tay
berharap banyak Harry ada di dalam rumah ini. Rumah yang baginya sangat kumuh
dan mengerikan. Tay ragu jika penghuni rumah ini adalah Harry. Jika bukan Harry
yang tinggal di rumah ini, jangan-jangan ada hantu yang tinggal di rumah ini.
Hantu kan suka tinggal di rumah yang sepi dan kumuh.
“Permisi..”
Ucap Tay setengah berteriak.
Tidak ada
jawaban. Tay pun mengulanginya lagi. “Permisi! Harry! Apa kau di dalam sana?
Aku Tay!” Teriaknya.
Sementara
di dalam sana, Harry bingung apakah ia harus keluar menemui Tay atau tidak.
Tapi di lubuk hatinya, ia ingin sekali menemui Tay karena ia rindu dengan Tay.
Namun, apa ia sanggup berhadapan dengan Tay dalam kondisi yang buruk ini?
Memang tubuhnya belum berubah. Tapi lama-kelamaan, tubuhnya akan berubah dan ia
akan menjadi manusia termalang di dunia ini.
Harry tidak
sengaja melihat satu botol obat yang hanya untuk sebagai cara agar daya tahan
tubuhnya tidak lemah. Tapi baginya, obat-obat itu tidak berguna. Penyakitnya
ini tidak akan bisa sembuh dan Harry pasrah akan semuanya. Semua yang telah
terjadi padanya.
“Harry! Apa
kau di dalam sana?”
Suara itu
menganggunya dan terus menganggunya. Akhirnya, Harry memutuskan untuk menemui
Tay karena ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu Tay. Ketika ia berada
di luar pintu rumah, Tay langsung berlari mendekatinya dan memeluknya. Harry
pun membalas pelukan itu. Tiba-tiba, ia cepat-cepat mHannahpas pelukannya
mengingat penyakitnya yang sangat buruk.
“Harry, kau
kenapa?” Tanya Tay melihat Harry yang tidak seperti biasanya. Wajah Harry
terlihat pucat dan tidak bersemangat.
Harry tidak
menjawab pertanyaan Tay. “Darimana kau tau alamat rumahku?” Tanyanya.
Harry
mengajak Tay masuk ke dalam rumahnya karena ia tidak tahan berada di luar. Suhu
di luar rumahnya lumayan dingin. Tay masuk ke dalam rumah Harry yang gelap,
yang hanya diterangi cahaya lilin. Ingin sekali Tay menangis melihat keadaan
rumah Harry yang mengenaskan.
“Mengapa
kau memilih untuk tinggal disini? Tempat ini sangat menyeramkan.” Kata Tay.
Harry
menatap Tay dengan tatapan tidak suka. “Mengapa kau peduli denganku? Mengapa
kau susah-susah mencariku? Aku sudah tidak dibutuhkan di dunia ini. Aku adalah
sampah. Sampah yang sebentar lagi akan dibuang di tempat yang sebenarnya.”
Ucapnya.
Tay paham
akan kondisi Harry yang sedang terpuruk. Kematian Ibunya mungkin merupakan
latar belakang Harry yang memilih untuk tinggal jauh dari keramaian. Tapi Tay
merasa bahwa saat ini Harry sedang sakit. Tay ingat saat Harry datang di rumah
sakit seperti sedang memeriksa sesuatu.
“Harry, aku
peduli denganmu karena kau adalah kakakku. Tentu saja aku tidak akan
membiarkanmu sendiri di tempat ini.” Kata Tay.
Harry
tersenyum sinis. “Aku tidak peduli apa kau adik ataupun Ibuku. Aku merasa sudah
tidak memiliki siapa-siapa lagi. Sebaiknya kau pergi saja karena aku ingin
sendiri.” Kata Harry seakan-akan ingin mengusir Tay dari rumahnya ini.
Sebisa
mungkin Tay menahan air matanya agar tidak jatuh. Sungguh, Harry mampu
membuatnya ingin menangis seperti saat ini. Dadanya sesak melihat keadaan Harry
yang mengenaskan ini. Ingin rasanya ia memeluk Harry seerat mungkin.
“Aku tidak
akan pergi sebelum kau mau ikut tinggal bersamaku.” Kata Tay.
Tiba-tiba,
Harry berdiri dan membuat Tay menjadi kaget. Gadis itu menunduk. “Dengar! Aku
tidak akan pernah kembali ke rumah lamaku ataupun tinggal bersamamu. Sudah aku
katakan, aku hanya ingin hidup sendiri! Sebaiknya kau jangan lagi menginjakkan
kaki di tempat ini lagi. Aku sudah muak dengan semuanya!”
Setelah
mengucapkan kalimat itu, Harry terbatuk-batuk. Tampaknya lelaki itu mulai lelah
karena kondisi tubuhnya yang lemah. Seharusnya ia tidak perlu membentak Tay
karena hal itu sama saja membuatnya kehilangan banyak tenaga, dan membuat
batinnya sakit. Jujur, Harry tidak sanggup membentak Tay, gadis yang
dicintainya itu.
“Lalu..
Lalu bagaimana dengan Tamara? Dia kan kekasihmu. Apa Tamara mempedulikanmu?”
Tanya Tay yang tiba-tiba teringat dengan Tamara.
“Tamara?
Kau tau, gadis iblis itulah yang telah membuatku menderita seperti ini. Dan aku
yakin sekali dia yang membunuh Ibuku karena hanya aku, Ibuku dan dia yang ada
di rumah saat sebelum Ibuku mati mengenaskan.” Jawab Harry.
Darah Tay
langsung naik. Ia begitu marah dengan Tamara yang telah membuat Harry seperti
ini. Tay tau, semua ini pasti ada hubungannya dengan Tamara. Tay tau, gadis itu
sangat licik dan Tay merasa Tamara itu bukanlah gadis biasa. Dan entah mengapa
Tay ingin sekali menghajar gadis itu habis-habisan. Ya, gadis yang pernah
menamparnya hingga mulutnya berdarah.
“Aku tau
Harry, Tamara sangatlah licik. Mengapa kau menjadikannya sebagai kekasihmu?”
Tanya Tay.
“Tidak. Aku
sama sekali tidak menyukainya. Ibu yang menjodohkanku dengan Tamara dan aku
tidak bisa menolaknya karena jika aku menolak, maka Ibu akan memilih untuk
mengakhiri hidupnya.” Jawab Harry.
Entah
mengapa Tay menjadi lega menyadari bahwa Harry sama sekali tidak menyukai
Tamara. Tapi Tay merasakan ada keganjilan dari jawaban Harry barusan. “Mengapa
Ibumu mau menjodohkanmu dengan Tamara? Apa Ibumu mengenal Tamara?” Tanyanya.
“Aku tidak
tau.” Jawab Harry.
Hening pun
tercipta. Tay tidak lagi bertanya pada Harry karena pertanyaannya sudah habis.
Tay hanya bisa memandangi wajah sedih Harry yang sepertinya ingin….. Menangis?
Tay memperhatikan wajah Harry, terutama kedua mata Harry. Sebuah cairan bening
keluar dari mata itu. Tay tidak percaya, lelaki seperti Harry tidak malu
menangis dihadapan gadis seperti dirinya. Seharusnya, ia yang menangis dan
bukan Harry.
Perlahan,
tangan kanannya menyentuh halus pipi Harry yang basah. Pipi yang pernah ia
tampar sekeras mungkin. Tay, gadis itu kini mengeluarkan air mata setelah sekian
lama ia tidak mengeluarkan air mata. ‘Aku mencintaimu Harry!’ Jeritnya dalam
hati. ‘Aku cemburu melihatmu berdua dengan Tamara. Aku tau kalau aku salah
mencintai seseorang. Aku mencintai kakakku sendiri dan itu merupakan suatu
kesalahan yang sangat besar.’
Tay pun
memeluk Harry. Ya, gadis itu memeluk Harry dengan penuh cinta walau cintanya
terlarang. Namun Tay tidak peduli. Ia hanya ingin bahagia bersama lelaki yang
dicintainya. Itu saja. Tay tidak menduga ternyata Harry balik memeluknya. Tay
merasa nyaman berada di pelukan itu. Hannahanor benar. Cinta itu sangatlah
indah. Kini Tay sudah bisa merasakannya. Namun, keindahan itu akan berubah
menjadi menyakitkan. Ya, artinya cinta itu sangatlah menyakitkan.
Tiba-tiba,
Harry melepaskan pelukannya. Ia tidak ingin Tay tertular penyakitnya hanya
karena ia memeluk Tay, walau kemungkinan besar penyakitnya tidak akan tertular
jika ia memeluk Tay.
Setelah
Harry melepaskan pelukannya, ia tersenyum. Dan senyuman ini merupakan senyuman
pertama setelah Ibunya meninggal. “Kau adalah adikku yang paling baik. Maafkan
aku Tay. Aku tau aku salah. Tapi ku mohon, aku ingin menyendiri untuk beberapa
saat.” Ucapnya.
Tentu saja
Tay sedih saat mendengar Harry mengucapkan ‘Kau adalah adikku yang paling
baik’. Tay pun mencoba untuk tersenyum. “Baiklah. Tapi apa kau berhenti kuliah?
Sebentar lagi kau kan lulus.”
“Setelah
dipikir-pikir, sebaiknya aku tetap kuliah karena aku sedang menyHannahsaikan
skripsiku.” Kata Harry.
Tay
tersenyum. “Baiklah. Aku pulang dulu. Jaga dirimu baik-baik.” Ucapnya seraya
mencium pipi Harry. Itulah ciuman pertamanya. Setelah Tay meninggalkan rumah
Harry, Harry menutup pintu rumahnya dengan perasaan yang campur aduk. Antara
bahagia, sedih, maupun marah dan menyesal. Menyesal karena ia memeluk Tay.
Menyesal karena ia membiarkan Tay mencium pipinya.
‘Semua ini
gara-gara penyakit sialan itu! Dan gadis sialan itu!’ Batin Harry dalam hati
dengan penuh berjuta kepedihan dan kesedihan.
Sementara
di luar sana, Tay seperti tidak ingin meninggalkan tempat ini. Ia sangat
khawatir dengan Harry walau Harry kelihatannya baik-baik saja. Tapi Tay merasa
Harry tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Sesuatu yang telah membuat Harry
semalang ini.
‘Aku harus
menemui Tamara!’ Tekad Tay.
Jam
menunjukkan pukul tujuh lebih sedikit. Tidak terlalu malam. Tay memutuskan
untuk pergi ke rumah lama Harry. Ia yakin disana ada Tamara. Tay sama sekali
tidak merasa takut atau apa. Intinya, Tay ingin menghajar gadis itu sampai
gadis itu sadar akan kesalahannya pada Harry.
Tay
memanggil taksi yang akan membawanya menuju rumah lama Harry. Namun, sebuah
mobil berhenti tepat di depannya. Tay tersenyum karena si pemilik mobil itu
adalah Zayn. Ya, hubungannya dengan Zayn semakin dekat. Ada yang mengakatan
kalau ia dan Zayn sudah taken. Tetapi Tay membantahnya. Ia dan Zayn hanya
berteman dan Tay yakin kalau Zayn masih mencintai mantannya, mungkin saja.
“Kau sudah
berhasil menemukan rumah Harry?” Tanya Zayn.
“Ya. Kau
masuk saja ke gang sempit itu. Disana ada rumah kecil. Itulah rumah Harry.”
Jawab Tay.
Zayn menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Anak itu memang aneh. Seharusnya dia tidak tinggal disana. Jika
memang rumah lamanya masih dihuni Tamara, mengapa Harry tidak mengusirnya untuk
pergi?”
Wajah Tay
langsung merah padam saat Zayn mengucapkan nama ‘Tamara’. “Zayn, aku ingin
mencari Tamara! Sekarang juga! Aku ingin member pelajaran untuknya.” Ucapnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar