expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 12 April 2015

All of Revenges ( Part 13 )



Part 13
.
            Beberapa menit kemudian, Harry keluar dari ruang dokter setelah menjalani pemeriksaan darah. Zayn yang penasaran langsung mendekati Harry dan bertanya pada lelaki itu. “Apa yang terjadi? Bagaimana hasilnya?” Tanyanya.
           
Namun Harry tidak menjawab. Lelaki itu malah menatap tajam sahabatnya sendiri. “Jangan dekati aku!” Bentaknya lalu pergi meninggalkan Zayn yang tengah kebingungan. Ajaibnya, Tay dan Hannah datang mendekati Zayn. Di rumah sakit ini juga merupakan rumah sakit tempat Louis di rawat.

            “Apa yang terjadi? Harry sedang apa?” Tanya Tay.

            Zayn tidak bisa menceritakan kejadian yang telah menimpa Harry. “Kau tanyakan saja pada Harry.” Ucapnya.

            Tanpa basa-basi, Tay berlari mengejar Harry. Saat tubuhnya sejajar dengan Harry, Harry memberhentikan langkahnya. “Mengapa kau mengejarku?” Tanya Harry setengah membentak.

            Tay merasa ada yang lain dari Harry. Jadi, perasaan tidak enaknya ternyata benar! Harry telah berubah menjadi lelaki pemarah dan tidak mau didekati oleh siapapun.

            “Harry, aku adikmu. Jadi aku harus tau apa yang sedang terjadi denganmu.” Jawab Tay.

            Harry tersenyum sinis. “Meskipun kau adalah Ibuku, aku tidak akan mau menceritakannya.” Ucapnya lalu pergi meninggalkan Tay. Tay menatap kepergian Harry dengan dada yang sesak.

            Hannah dan Zayn berjalan mendekati Tay. “Sudahlah Tay. Harry sedang terpuruk karena tadi pagi Ibunya meninggal.” Kata Zayn.

            Tay kaget mendengar perkataan Zayn. “Benarkah? Tapi mengapa Harry seperti sedang memeriksakan diri di rumah sakit? Apakah dia terkena penyakit?” Tanyanya.

            Zayn menggeleng lemah dan itu membuat Tay didera rasa kebingungan, kepenasaran, kekhawatiran dan rasa sedih yang ia tunjukan pada Harry. Tay berharap Harry akan baik-baik saja dan tidak menderita penyakit seperti Louis. Ya, semoga.

***

            “Harry!” Ucap Tamara yang melihat Harry datang dan langsung duduk di sofa ruang tamu. Tamara berjalan mendekati Harry seraya duduk di samping Harry. “Kau habis darimana? Dan bisakah kau jelaskan mengapa Ibumu bisa meninggal?” Tanyanya.

            Harry tidak menjawab pertanyaan Tamara, melainkan memberikan Tamara secarik kertas misterius tadi. Tamara menerima kertas itu lalu membacanya. “Siapa yang menulis?” Tanya Tamara setelah sHannahsai membaca surat itu.

            Harry menatap Tamara yang sepertinya butuh jawabannya. “Aku tidak tau. Yang jelas surat itu ada hubungannya dengan akal licikmu!” Ucapnya lalu masuk ke dalam kamar. Hari ini Harry butuh istirahat. Ia tidak peduli dengan keadaan Ibunya dan ia tidak peduli kapan Ibunya akan dikuburkan. Intinya, Harry sudah tidak peduli dengan semuanya, karena ia merasa hidupnya ini sangatlah menyakitkan dan ia tidak pernah sedikitpun merasakan kebahagiaan.

            Sementara di luar sana, Tamara tetap memegang secarik kertas itu. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu. Tapi jika diperhatikan, gadis itu sedang tersenyum. Senyum yang sulit diterjemahkan oleh siapapun.

***

            Di rumah sakit, Zayn mengantar Tay pulang karena hari itu Tay lelah sekali. Sementara Hannah, gadis itu memutuskan untuk pergi ke kamar Louis. Padahal, hari ini ada jam kuliahnya. Namun Hannahanor malas untuk kuliah. Ia sudah berjanji untuk merawat dan menjaga Louis sampai Louis sembuh.

            Sesampai di kamar Louis, Tay melihat ada Niall yang sedang bercanda dengan Louis. Niall sedikit kaget akan kedatangan Hannah. “Niall, bisakah kau pergi dari tempat ini? Aku ingin berdua dengan Louis.” Ucapnya.

            Mau tidak mau, terpaksa Niall mengangguk. Lelaki itupun pergi meninggalkan kamar Louis. Kini hanya ada Louis dan Hannah saja. “Lou, bagaimana keadaanmu?” Tanya Hannah.

            “Sudah mulai membaik.” Jawab Louis.

            Tentu saja Hannah merasa senang. Ia yakin sekali penyakit Louis akan segera sembuh walau kemungkinannya kecil. Tapi manusia harus berusaha dan Tuhan yang menentukannya.

            “Ada yang bisa aku bantu?” Tanya Hannah.

            Louis terdiam, lalu ia menjawab. “Aku ingin keluar. Bisakah kau membantuku mendorong kursi roda? Aku bosan berada di kamar ini.” Jawabnya.

            Hannah langsung memanggil suster. Untunglah suster mengizinkan Louis untuk pergi. Dengan dibantu dua suster, Louis berhasil duduk di kursi roda. Hannah pun mendorong kursi roda itu dengan hati-hati.

            “Kau ingin kemana?” Tanya Hannah.

            “Aku ingin ke taman.” Jawab Louis.

            Di belakang rumah sakit ada taman bunga kecil yang indah. Hannah tau tempatnya. Gadis itu mendorong kursi roda yang baginya lumayan berat itu. Namun Hannah tidak mau menyerah. Ia akan melakukan apapun untuk membahagiakan Louis. Tanpa sepengetahuan keduanya, Niall memerhatikan Hannah dan Louis. Hannah sangat bahagia disana. Niall tersenyum sedih. Entah mengapa kedua kakinya memaksanya untuk mengikuti Hannah dan Louis.

            Setelah sampai di taman bunga, Louis menyuruh Hannah untuk berhenti. Bagi Louis, pemandangan ini sungguh indah. Sudah lama ia tidak merasakan kesejukan seperti ini.

            “Lou..” Kata Hannah ragu.

            “Ada apa?” Tanya Louis.

            “Ng.. Kau akan berjuang kan agar penyakitmu hilang?” Tanya Hannah.

            Louis tersenyum miris. “Entahlah. Tapi aku merasa kalau umurku sudah tidak lama lagi.” Ucapnya.

            Hal inilah yang sangat dibenci Hannah. Gadis itu sepertinya ingin menangis. Jika memang Louis harus pergi, akankah ia sanggup menjalani hidupnya tanpa Louis?

            “Kau kenapa? Jika aku mati, kau tidak perlu menangis. Aku tidak pantas kau tangisi.” Kata Louis.

            Setitik demi setitik air keluar dari matanya dan membasahi pipinya yang pucat. Melihat hal itu, Louis tampak kasihan dengan Hannah. Ia sedih melihat gadis itu menangis. Louis tau, Hannah terlalu mencintainya dan tidak pernah berhenti mencintainya meski ia tidak mau menerima cinta Hannah. Louis terdiam dan berpikir. Akankan ia membuka hatinya untuk Hannah agar gadis itu bahagia?

            “Hannah, jangan menangis. Baiklah. Aku akan berusaha untuk menang dari penyakitku ini.” Kata Louis. Lelaki itu membelai rambut panjang Hannah. Tentu saja Hannah kaget dibuatnya. Baru kali ini Louis lembut padanya.

            Bisa ia lihat saat ini Louis sedang tersenyum melihatnya. Hal ini membuat hati Hannah bahagia. Ia berharap Louis mau membuka hati untuknya. “Terimakasih Lou. Aku akan terus berdo’a agar kau cepat sembuh.” Ucapnya.

            Dari jauh, Niall berusaha menahan kecemburuan dan kesedihannya. Perasaan takut tiba-tiba muncul begitu saja. Takut jika seandainya Louis mulai menyukai Hannah. Takut jika seandainya mereka menjadi sepasang kekasih. Jika memang hal itu terjadi, Niall tidak bisa berbuat apa-apa selain mendo’akan agar mereka selalu bahagia.

            Ya, bahagianya Hannah adalah bahagianya juga.

***


            Setelah kematian Ibunya, Harry memilih untuk meninggalkan rumahnya karena ia tidak mau tinggal berdua dengan Tamara, meskipun Tamara memaksanya untuk tetap tinggal. Harry pun menemukan rumah kecil yang sepertinya nyaman untuk ia tinggali. Ternyata rumah itu kosong dan sedang disewa dengan harga yang cukup murah. Harry memilih untuk menyewa rumah itu. Rumah yang letaknya jauh dari rumah lamanya. Rumah yang tersembunyi dari orang-orang yang dikenalinya. Termasuk Zayn, Niall, Liam, Louis ataupun Tay.

            Ketika Harry mengingat Tay, ia langsung sedih. Bagaimana pun juga, Harry sangat merindukan gadis itu. Gadis yang ia cintai. Ya, Harry sudah mengaku bahwa dirinya mencintai Tay dan cintanya kali ini terlarang. Apa jadinya jika seorang kakak menyukai adiknya sendiri?

            Tubuhnya semakin menggigil saat malam mulai mendatanginya. Harry berusaha untuk kuat dan berusaha melawan keadaan. Untunglah ada selimut tebal yang bisa melindunginya dari hawa dingin. Harry memilih untuk diam di kamar dan mengunci pintu kamarnya. Tanpa terasa, setitik demi setitik air mata keluar dari celah-celah matanya. Buru-buru Harry mengusap air mata itu karena baginya air mata itu adalah sumber kHannahmahan.

            Entah mengapa Harry merasa ada seseorang di luar sana. Seseorang yang tengah berusaha untuk masuk ke dalam rumahnya. Perlahan, Harry bangkit dari duduknya dan mengintip di jendela kamarnya. Ketika ia melihat di luar pagar rumahnya, jantungnya seakan-akan mau copot. Cepat-cepat Harry menutup gorden jendelanya.

            Mengapa.. Mengapa gadis itu kemari? Darimana gadis itu mengetahui tempat tinggal barunya? Harry tidak berhenti-berhentinya bertanya pada dirinya sendiri.

***

            ‘Apa ini rumahnya?’ Batin Tay.

            Setelah berusaha mencari, akhirnya Tay dapat menemukan alamat rumah baru Harry. Tay mendapat alamatnya dari seorang Ibu yang sudah lama tinggal di daerah yang sepi ini. Kata Ibu itu, ada seorang lelaki berambut keriting yang sedang mencari tempat tinggal dan akhirnya menyewa di salah satu rumah yang ada di daerah ini.

***

            Setelah berusaha mencari, akhirnya Tay dapat menemukan alamat rumah baru Harry. Tay mendapat alamatnya dari seorang Ibu yang sudah lama tinggal di daerah yang sepi ini. Kata Ibu itu, ada seorang lelaki berambut keriting yang sedang mencari tempat tinggal dan akhirnya menyewa di salah satu rumah yang ada di daerah ini.

            Tay berharap banyak Harry ada di dalam rumah ini. Rumah yang baginya sangat kumuh dan mengerikan. Tay ragu jika penghuni rumah ini adalah Harry. Jika bukan Harry yang tinggal di rumah ini, jangan-jangan ada hantu yang tinggal di rumah ini. Hantu kan suka tinggal di rumah yang sepi dan kumuh.

            “Permisi..” Ucap Tay setengah berteriak.

            Tidak ada jawaban. Tay pun mengulanginya lagi. “Permisi! Harry! Apa kau di dalam sana? Aku Tay!” Teriaknya.

            Sementara di dalam sana, Harry bingung apakah ia harus keluar menemui Tay atau tidak. Tapi di lubuk hatinya, ia ingin sekali menemui Tay karena ia rindu dengan Tay. Namun, apa ia sanggup berhadapan dengan Tay dalam kondisi yang buruk ini? Memang tubuhnya belum berubah. Tapi lama-kelamaan, tubuhnya akan berubah dan ia akan menjadi manusia termalang di dunia ini.

            Harry tidak sengaja melihat satu botol obat yang hanya untuk sebagai cara agar daya tahan tubuhnya tidak lemah. Tapi baginya, obat-obat itu tidak berguna. Penyakitnya ini tidak akan bisa sembuh dan Harry pasrah akan semuanya. Semua yang telah terjadi padanya.

            “Harry! Apa kau di dalam sana?”

            Suara itu menganggunya dan terus menganggunya. Akhirnya, Harry memutuskan untuk menemui Tay karena ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu Tay. Ketika ia berada di luar pintu rumah, Tay langsung berlari mendekatinya dan memeluknya. Harry pun membalas pelukan itu. Tiba-tiba, ia cepat-cepat mHannahpas pelukannya mengingat penyakitnya yang sangat buruk.

            “Harry, kau kenapa?” Tanya Tay melihat Harry yang tidak seperti biasanya. Wajah Harry terlihat pucat dan tidak bersemangat.

            Harry tidak menjawab pertanyaan Tay. “Darimana kau tau alamat rumahku?” Tanyanya.

            Harry mengajak Tay masuk ke dalam rumahnya karena ia tidak tahan berada di luar. Suhu di luar rumahnya lumayan dingin. Tay masuk ke dalam rumah Harry yang gelap, yang hanya diterangi cahaya lilin. Ingin sekali Tay menangis melihat keadaan rumah Harry yang mengenaskan.

            “Mengapa kau memilih untuk tinggal disini? Tempat ini sangat menyeramkan.” Kata Tay.

            Harry menatap Tay dengan tatapan tidak suka. “Mengapa kau peduli denganku? Mengapa kau susah-susah mencariku? Aku sudah tidak dibutuhkan di dunia ini. Aku adalah sampah. Sampah yang sebentar lagi akan dibuang di tempat yang sebenarnya.” Ucapnya.

            Tay paham akan kondisi Harry yang sedang terpuruk. Kematian Ibunya mungkin merupakan latar belakang Harry yang memilih untuk tinggal jauh dari keramaian. Tapi Tay merasa bahwa saat ini Harry sedang sakit. Tay ingat saat Harry datang di rumah sakit seperti sedang memeriksa sesuatu.

            “Harry, aku peduli denganmu karena kau adalah kakakku. Tentu saja aku tidak akan membiarkanmu sendiri di tempat ini.” Kata Tay.

            Harry tersenyum sinis. “Aku tidak peduli apa kau adik ataupun Ibuku. Aku merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Sebaiknya kau pergi saja karena aku ingin sendiri.” Kata Harry seakan-akan ingin mengusir Tay dari rumahnya ini.

            Sebisa mungkin Tay menahan air matanya agar tidak jatuh. Sungguh, Harry mampu membuatnya ingin menangis seperti saat ini. Dadanya sesak melihat keadaan Harry yang mengenaskan ini. Ingin rasanya ia memeluk Harry seerat mungkin.

            “Aku tidak akan pergi sebelum kau mau ikut tinggal bersamaku.” Kata Tay.

            Tiba-tiba, Harry berdiri dan membuat Tay menjadi kaget. Gadis itu menunduk. “Dengar! Aku tidak akan pernah kembali ke rumah lamaku ataupun tinggal bersamamu. Sudah aku katakan, aku hanya ingin hidup sendiri! Sebaiknya kau jangan lagi menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Aku sudah muak dengan semuanya!”

            Setelah mengucapkan kalimat itu, Harry terbatuk-batuk. Tampaknya lelaki itu mulai lelah karena kondisi tubuhnya yang lemah. Seharusnya ia tidak perlu membentak Tay karena hal itu sama saja membuatnya kehilangan banyak tenaga, dan membuat batinnya sakit. Jujur, Harry tidak sanggup membentak Tay, gadis yang dicintainya itu.

            “Lalu.. Lalu bagaimana dengan Tamara? Dia kan kekasihmu. Apa Tamara mempedulikanmu?” Tanya Tay yang tiba-tiba teringat dengan Tamara.

            “Tamara? Kau tau, gadis iblis itulah yang telah membuatku menderita seperti ini. Dan aku yakin sekali dia yang membunuh Ibuku karena hanya aku, Ibuku dan dia yang ada di rumah saat sebelum Ibuku mati mengenaskan.” Jawab Harry.

            Darah Tay langsung naik. Ia begitu marah dengan Tamara yang telah membuat Harry seperti ini. Tay tau, semua ini pasti ada hubungannya dengan Tamara. Tay tau, gadis itu sangat licik dan Tay merasa Tamara itu bukanlah gadis biasa. Dan entah mengapa Tay ingin sekali menghajar gadis itu habis-habisan. Ya, gadis yang pernah menamparnya hingga mulutnya berdarah.

            “Aku tau Harry, Tamara sangatlah licik. Mengapa kau menjadikannya sebagai kekasihmu?” Tanya Tay.

            “Tidak. Aku sama sekali tidak menyukainya. Ibu yang menjodohkanku dengan Tamara dan aku tidak bisa menolaknya karena jika aku menolak, maka Ibu akan memilih untuk mengakhiri hidupnya.” Jawab Harry.

            Entah mengapa Tay menjadi lega menyadari bahwa Harry sama sekali tidak menyukai Tamara. Tapi Tay merasakan ada keganjilan dari jawaban Harry barusan. “Mengapa Ibumu mau menjodohkanmu dengan Tamara? Apa Ibumu mengenal Tamara?” Tanyanya.

            “Aku tidak tau.” Jawab Harry.

            Hening pun tercipta. Tay tidak lagi bertanya pada Harry karena pertanyaannya sudah habis. Tay hanya bisa memandangi wajah sedih Harry yang sepertinya ingin….. Menangis? Tay memperhatikan wajah Harry, terutama kedua mata Harry. Sebuah cairan bening keluar dari mata itu. Tay tidak percaya, lelaki seperti Harry tidak malu menangis dihadapan gadis seperti dirinya. Seharusnya, ia yang menangis dan bukan Harry.

            Perlahan, tangan kanannya menyentuh halus pipi Harry yang basah. Pipi yang pernah ia tampar sekeras mungkin. Tay, gadis itu kini mengeluarkan air mata setelah sekian lama ia tidak mengeluarkan air mata. ‘Aku mencintaimu Harry!’ Jeritnya dalam hati. ‘Aku cemburu melihatmu berdua dengan Tamara. Aku tau kalau aku salah mencintai seseorang. Aku mencintai kakakku sendiri dan itu merupakan suatu kesalahan yang sangat besar.’

            Tay pun memeluk Harry. Ya, gadis itu memeluk Harry dengan penuh cinta walau cintanya terlarang. Namun Tay tidak peduli. Ia hanya ingin bahagia bersama lelaki yang dicintainya. Itu saja. Tay tidak menduga ternyata Harry balik memeluknya. Tay merasa nyaman berada di pelukan itu. Hannahanor benar. Cinta itu sangatlah indah. Kini Tay sudah bisa merasakannya. Namun, keindahan itu akan berubah menjadi menyakitkan. Ya, artinya cinta itu sangatlah menyakitkan.

            Tiba-tiba, Harry melepaskan pelukannya. Ia tidak ingin Tay tertular penyakitnya hanya karena ia memeluk Tay, walau kemungkinan besar penyakitnya tidak akan tertular jika ia memeluk Tay.

            Setelah Harry melepaskan pelukannya, ia tersenyum. Dan senyuman ini merupakan senyuman pertama setelah Ibunya meninggal. “Kau adalah adikku yang paling baik. Maafkan aku Tay. Aku tau aku salah. Tapi ku mohon, aku ingin menyendiri untuk beberapa saat.” Ucapnya.

            Tentu saja Tay sedih saat mendengar Harry mengucapkan ‘Kau adalah adikku yang paling baik’. Tay pun mencoba untuk tersenyum. “Baiklah. Tapi apa kau berhenti kuliah? Sebentar lagi kau kan lulus.”

            “Setelah dipikir-pikir, sebaiknya aku tetap kuliah karena aku sedang menyHannahsaikan skripsiku.” Kata Harry.

            Tay tersenyum. “Baiklah. Aku pulang dulu. Jaga dirimu baik-baik.” Ucapnya seraya mencium pipi Harry. Itulah ciuman pertamanya. Setelah Tay meninggalkan rumah Harry, Harry menutup pintu rumahnya dengan perasaan yang campur aduk. Antara bahagia, sedih, maupun marah dan menyesal. Menyesal karena ia memeluk Tay. Menyesal karena ia membiarkan Tay mencium pipinya.

            ‘Semua ini gara-gara penyakit sialan itu! Dan gadis sialan itu!’ Batin Harry dalam hati dengan penuh berjuta kepedihan dan kesedihan.

            Sementara di luar sana, Tay seperti tidak ingin meninggalkan tempat ini. Ia sangat khawatir dengan Harry walau Harry kelihatannya baik-baik saja. Tapi Tay merasa Harry tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Sesuatu yang telah membuat Harry semalang ini.

            ‘Aku harus menemui Tamara!’ Tekad Tay.

            Jam menunjukkan pukul tujuh lebih sedikit. Tidak terlalu malam. Tay memutuskan untuk pergi ke rumah lama Harry. Ia yakin disana ada Tamara. Tay sama sekali tidak merasa takut atau apa. Intinya, Tay ingin menghajar gadis itu sampai gadis itu sadar akan kesalahannya pada Harry.

            Tay memanggil taksi yang akan membawanya menuju rumah lama Harry. Namun, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Tay tersenyum karena si pemilik mobil itu adalah Zayn. Ya, hubungannya dengan Zayn semakin dekat. Ada yang mengakatan kalau ia dan Zayn sudah taken. Tetapi Tay membantahnya. Ia dan Zayn hanya berteman dan Tay yakin kalau Zayn masih mencintai mantannya, mungkin saja.

            “Kau sudah berhasil menemukan rumah Harry?” Tanya Zayn.

            “Ya. Kau masuk saja ke gang sempit itu. Disana ada rumah kecil. Itulah rumah Harry.” Jawab Tay.

            Zayn menggeleng-gelengkan kepalanya. “Anak itu memang aneh. Seharusnya dia tidak tinggal disana. Jika memang rumah lamanya masih dihuni Tamara, mengapa Harry tidak mengusirnya untuk pergi?”

            Wajah Tay langsung merah padam saat Zayn mengucapkan nama ‘Tamara’. “Zayn, aku ingin mencari Tamara! Sekarang juga! Aku ingin member pelajaran untuknya.” Ucapnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar