“Caught
you from the corner of my eye you smiled at a girl while passing by
Thought you had me fooled but you
were wrong
I know what's going on, it didn't
take me long
It wasn't hard to read between the
lines
The necklace in your car that wasn't mine
Nothing left for you to do or say, so
I'm on my way now it's too late
Now I know who you are you got
nothing on me, I see
I should've known it from the start
You can't tell me lies don't even try
'cause
This is goodbye..”
***
Setelah kejadian itu, aku tidak tau harus bagaimana lagi saat bertemu
dengan Alex. Tapi tiba-tiba saja aku menjadi benci padanya. Aku ingin
memarahinya karena selama ini dia telah memohongiku. Aku tidak tau bagaimana
jika Mom dan Dad mengetahui cinta Alex yang palsu. Mungkin mereka berdua amat
sedih. Tapi aku tidak ingin memberitahu pada Mom dan Dad. Malam ini aku iseng
menelpon Alex. Sambungan terhubung. Tidak ada jawaban. Aku menelpon dan terus
menelpon hingga sampai yang kelima kalinya, Alex menolak telpon itu. Nah!
Aku merasa Alex sedang membuat suatu rencana untuk membuat hatiku sakit.
Alex ingin melihatku menangis karena kebohongannya. Tapi sayangnya, Alex tidak
akan bisa membuatku sedih. Aku tidak merasa sedih melihat kebohongan-kebohongan
yang dilakukan Alex padaku. Tentu saja karena Luke. Aku berharap bukan karena
Luke. Jika aku benar-benar menyukai Luke, masalahku akan bertambah besar dan
aku tidak ingin dibuat menangis oleh Luke.
“Jadi selama ini Alex membohongimu. Dia cowok yang kurang ajar.” Ucap
Chloe.
Aku tidak bisa mengatakan Alex adalah cowok yang kurang ajar karena aku
juga merasa salah padanya. Jika saja Alex tidak berbohong padaku, mungkin
hubungan ini tidak akan berlanjut. Aku merasakan tidak ada cinta tersisa pada
Alex. Semuanya menghilang. Dan aku mulai merasa takut setelah ini. Takut jika
musim panas berakhir dan aku akan kembali ke Indonesia dan hanya menyisakan
kenangan-kenangan. Aku tidak akan bertemu dengan Luke meski aku masih bingung
dengan perasaanku.
“Tenang aja Farah, masih ada Luke.” Ucap Marie.
Baru saja aku memikirkan Luke, Marie langsung menyebut nama itu. Luke
sudah mati! Gumamku. Sudah dua hari Luke tidak muncul dan mungkin saja dia
sudah keluar dari sekolah itu. Jika benar Luke sudah keluar dari sekolah, aku
tidak tau bagaimana tanggapan hatiku. Apa aku sedih? Atau merasa tenang dan
lega?
“Sudah dua hari Luke tidak masuk sekolah.” Ucapku.
“Benar. Dia adalah anak yang misterius, tapi ganteng.” Ucap Marie.
Ku mohon Marie jangan mengatakan kalau Luke itu ganteng. Aku merasa aneh
dengan pernyataan itu. Luke memang ganteng tapi ku rasa itu aneh. Aku ingin
melupakannya tetapi tidak bisa. Aku berharap aku akan baik-baik saja sampai
musim panas ini berakhir dan kembali ke Indonesia tanpa ada beban atau
kesedihan sedikitpun. Aku akan berusaha, ya.
***
Pagi ini, aku sibuk membaca buku sementara Lily dan Marie pergi ke
kantin. Aku tidak lapar karena itulah aku tidak mengikuti mereka. Walau aku
berusaha memfokuskan membaca buku, tetapi otakku tidak bisa menerima bacaan
yang aku baca. Pikiranku tertuju pada dua cowok: Alex dan Luke. Pertama Alex.
Aku bingung apa yang harus aku lakukan padanya setelah aku mengetahui dia sudah
menjalin hubungan selama satu tahun bersama Selena. Kedua Luke. Aku tidak tau
apa yang harus aku lakukan dan mengenai perasaan ini. Aku bingung sekali.
BRAKK !!!
Aku menjadi kaget akibat suara itu dan ternyata… Aku menelan ludahku. Dia
ada disini. Luke. Cowok itu tidak menghilang. Luke masih sekolah disini dan
rasanya aku ingin menangis. Entah mengapa aku berharap Luke bersikap baik
padaku dan membuang sika cueknya karena aku sangat tidak menyukai sikap cueknya
itu. Aku merasakan Luke yang sudah duduk di sampingku dan jantungku
berdebar-debar. Sial.
Luke sedang memainkan Iphone-nya dan aku memberanikan diri menoleh ke samping
kiri. Dilihat dari samping saja sudah sangat gan.. Stop! Aku benci pernyataan
itu! Baju yang Luke kenakan sama seperti hari-hari sebelumnya. Serba hitam. Apa
tidak ada pakaian lain? Aku penasaran bagaimana kehidupan Luke dan apa yang
Luke lakukan selama di luar sekolah.
“Farah!” Seru Marie.
Marie terlihat kaget akan kehadiran Luke tepat di sampingku. Mungkin
Marie sedang menahan tawanya melihat wajahku yang cukup malu dan gugup. Aku
memang merasa malu dan gugup. Ingin sekali aku menyapa Luke tetapi aku takut
jika Luke menanggapi ucapanku dengan kata-kata yang bisa menyakitkanku.
Syukurlah guru kami datang dan kelas hari ini adalah seni. Kulihat
beberapa anak membawa kanvas dan cat air yang mereka taruh di meja guru. Apakah
hari ini waktu melukis? Aku suka melukis. Dengan melukis, aku bisa
mengekspresikan jiwa dan menikmati saat-saat melukis. Apalagi jika melukis
tentang pemandangan. Aku sangat menyukainya.
“Baiklah. Hari ini kalian akan melukis dan aku menyuruh kalian melukis
dengan tema yang berbeda di setiap pasangan.” Ucap guru itu.
Kelas apakah ini? Aku harap aku hanya bermimpi. Jadi guru itu menyuruh
kami melukis dengan tema yang dia pilih? Aku tidak suka jika ada tema. Aku
hanya suka melukis dengan tema yang aku tentukan sendiri. Untuk pertama kalinya
aku merasa melukis itu adalah hal yang aku bencikan. Dan bersama pasanganmu..
Aku ingin mati saat ini juga.
“Untuk Luke dan Farah, aku menugaskan kalian melukis alat-alat musik.
Kalian berdua pergi ke ruang musik untuk menggambar sketsa lalu kembali dan
melukis di kelas.” Ucap guru itu.
Guru atau apakah dia? Kalau aku berani, aku akan mengacaukan ruang musik
itu dan melempar semua cat sehingga ruang musik itu menjadi kacau. Tapi guru
yang aku tidak tau siapa namanya itu hanya mengizinkan kami membuat sketsa saja
dan dilarang melukis disana karena tentunya akan mengotori ruang musik.
Alat-alat musik? Aku tidak pandai membuat sketsa alat-alat musik. Jadi, apa
yang harus aku lakukan? Aku ingin kembali ke Indonesia! Aku muak dengan kelas
ini.
Aku pun bangkit dan mengambil kanvas itu dengan tangan yang gemetaran.
Aku tidak mempedulikan Luke. Aku hanya ingin sendiri dan aku harap Luke tidak
pergi ke ruang musik karena itu akan mengangguku. Saat aku memasuki ruang
musik, aku bingung. Disana banyak sekali alat-alat musik yang tersusun rapi dan
ku rasa sangat susah untuk membuat sketsanya. Aku memutuskan untuk menggambar
sketsa piano walau aku tidak yakin apakah aku bisa menggambarnya dengan
sempurna. Tak apa. Asalkan tidak ada Luke disini.
Saat aku tengah menggambar dengan serius, aku merasa ada kehadiran orang
lain disini. Aku lihat ke samping kananku. Ada kanvas lain. Aku mendongakkan
wajahku dan menatap Luke yang sedang menatapku. Sialan! Selama menggambar aku
terus saja berdoa agar Luke tidak kemarin namun sayangnya doaku tidak terkabul.
Ku lihat Luke yang sedang menatap kanvasku dan entahlah apa yang ada
dipikirannya. Apakah piano yang aku gambar sangat jelek? Kayak dia bisa
menggambar saja.
“Gambarkan aku.” Ucap Luke.
Cowok itu memberikan kanvasnya yang masih bersih padaku. Aku terdiam
sesaat sambil mencoba mengembalikan otakku pada tempatnya. Jadi si cowok dingin
itu meminta bantuanku untuk menggambar di kanvasnya? Bukankah itu tidak adil?
Aku menatap wajahnya yang terlihat kasihan. Jadi Luke tidak bisa menggambar,
bahkan melukis! Aku tidak tau apakah harus membantunya atau tidak. Tapi jika
aku membantunya, nanti guru itu tau kalau aku yang menggambarnya karena
gambarku ya hmm seperti inilah apalagi jika Luke sampai meminta aku yang
melukiskannya. Pasti akan terlihat mirip dan guru itu akan curiga lalu
menghukum kami. Maka aku biarkan Luke berusaha sendiri dan melanjutkan
gambaranku tanpa melihat ekspresi wajahnya saat aku tidak membantunya.
“Aku benci seni.” Ucap Luke lalu membuang kanvasnya begitu aja di lantai.
Suaranya terdengar sangat kesal dan sebisa mungkin aku menahan tawa.
Pasti wajah Luke sangat lucu. Tapi aku mencoba bersikap baik-baik saja agar
Luke tidak bertambah kesal padaku. Entahlah bagaimana nasibnya nanti. Ini bukan
kerja kelompok melainkan kerja individu jadi jika Luke tidak mengumpulkan
tugasnya, maka hal itu tidak akan berpengaruh pada nilaiku.
Aku melanjutkan gambaranku dan berusaha untuk tidak memikirkan Luke.
Tiba-tiba saja aku mendengar petikan suara gitar yang indah. Seketika itu juga
aku menghentikan kegiatanku dan merasa seperti.. Tidak! Aku tidak bisa tidak
melihat Luke yang kini sedang bermain gitar yang tidak bisa aku bayangkan.
Mati, mati dan mati! Aku ingin keluar dari neraka ini, tapi rasanya seperti
berada di surga. Aku masih melihat Luke memainkan gitar itu dan
perasaan-perasaan aneh muncul menghiasi hatiku. Demi Tuhan aku sangat menyukai
gayanya bermain gitar dan ini pertama kalinya aku melihat cowok yang bermain
gitar dengan jarak yang sangat dekat. Entahlah lagu apa yang dimainkan Luke
tetapi nada-nadanya terdengar indah di telingaku. Aku seperti tersihir
melihatnya.
“Hei!”
Jantungku seperti ingin copot mendengar suaranya. Luke menghentikan
permainannya dan aku merasa kecewa. Luke menatapku dengan tatapan ketidaksukaan
dan aku merasa sangat bersalah. Entah mengapa aku ingin menangis. Aku merasa
salah berada di tempat ini, salah melihatnya bermain gitar, dan salah
dipasangkan dengan Luke. Jelas-jelaslah aku tidak pantas untuknya. Aku bodoh,
sangat bodoh.
“Baiklah aku akan menggambar di kanvasmu asalkan kau berhenti memainkan
gitar itu.” Ucapku dengan suara yang sedikit bergetar.
Luke sama sekali tidak senyum atau merasa senang. Dia menaruh gitar yang
tadi dia mainkan lalu mengambil kanvasnya dan meninggalkanku. Gila! Aku bahkan
meneteskan air mata padahal aku tidak tau apa penyebab air mataku ini menetes.
Apa karena sikapnya? Apa aku salah padanya?
Dan apakah aku benar-benar jatuh cinta padanya?
***
Belum lagi masalah Luke terselesaikan, masalah tentang Alex datang. Sore
ini Alex ingin bertemu denganku dan dia sangat memohon. Masalahnya aku sedang
malas keluar asrama karena kejadian tadi, kejadian di ruang musik. Dipikiranku
hanyalah sesosok Luke yang sedang bermain gitar dan itu membuat otakku menjadi tidak
waras. Aku sudah menceritakan hal ini pada Marie dan Marie mengatakan bahwa
Luke benar-benar cowok yang sangat sempurna, apalagi jika Luke memiliki band
akan bertambah semakin sempurna. Bukankah impianku adalah memiliki cowok yang
jago bermain gitar? Fuck! Aku
teringat dengan Rey dan jika saja aku tidak pacaran dengan Alex..
“Sebaiknya kau akhiri saja hubunganmu dengan Alex agar kau tidak dihantui
olehnya.” Ucap Lily.
Mungkin Lily benar. Aku harus mengakhiri hubungan ini agar sebagian
masalahku berkurang. Aku sudah tidak mencintai Alex lagi dan aku harap hal itu
yang terbaik untukku. Alex, dia tidak mendapat apapun dariku. Aku bukanlah
apa-apa baginya. Apa selama ini Alex menyembunyikan hubungannya dengan Selena
agar aku tidak menjadi sakit?
Ketika aku berada di luar, Alex tersenyum padaku dan kuakui senyum itu
adalah senyum palsu. Hah! Dimana Selena? Mengapa Alex tidak menemui kekasihnya
itu? Aku menatap Alex dengan tatapan tidak suka dan tentunya Alex heran dengan
sikapku. Perlahan Alex menggandeng tanganku yang kemudian aku lepas.
“Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi? Kau sangat berbeda.” Ucap Alex.
Aku menatapnya dengan tajam. “Kau yang tidak mencintaiku dan selama ini
kau berbohong padaku.” Ucapku.
Ku perhatikan wajah Alex yang mulai pucat dan aku merasa menang. Sebentar
lagi hubungan kami berakhir dan kurasa aku harus mengucapkan selamat tinggal
pada Alex. Alex meraih tanganku dan sepertinya dia akan mengakui sesuatu.
“Jadi kau sudah tau? Maafkan aku. Aku sangat bodoh.” Ucap Alex.
Cepat-cepat aku melepaskan tanganku darinya. “Tidak apa-apa. Jadi apakah
hubungan kita harus berakhir mulai detik ini?” Tanyaku.
Alex sedikit tidak suka dengan ucapanku dan wajahnya terlihat bingung dan
bertambah semakin pucat. Oh ayolah Alex, jika kau tidak mencintaiku, untuk apa
kau mempertahankanku? Kau begitu cocok dengan Selena dan aku berjanji untuk tak
akan menyalahkan Selena.
“Aku, aku tidak bisa. Aku ingin kau terus bersamaku.” Ucap Alex.
Dasar cowok yang egois. Aku tidak mau jika aku masih pacaran dengan Alex
sedangkan Alex bermesraan dengan Selena di luar sana karena Alex lebih sering
bertemu dengan Selena dibanding aku. Apakah Alex takut jika hatiku menjadi
sakit? Tidak! Aku sudah tidak lagi mencintai Alex, sungguh.
“Kau bukan kekasihku lagi, Alex. Terimakasih untuk dua tahun ini. Selamat
tinggal.” Ucapku lalu pergi meninggalkan Alex.
Ku dengar Alex meneriaki namaku tapi aku tidak mau membalikkan wajahku.
Aku benar-benar kesal dan walau tidak sakit, aku benar-benar menyiakan dua
tahun ini untuk mencintainya. Rasanya sia-sia berusaha menjaga cintaku padanya
sedangkan di luar sana Alex tidak bisa menjaga cintanya. Tidak apa-apa. Aku
berusaha untuk menganggap hal ini baik-baik saja dan melupakan segala cintaku
pada Alex. Tenang saja Alex, aku berjanji untuk tidak menangisimu karena
percuma saja menangisi cowok seperti dirimu.
Hubungan yang sia-sia, ya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar