Part 7
.
.
.
Kelas 11-IPA1
tampak hening. Masing-masing mendengarkan penjelasan dari Bu Irma yang memegang
mata pelajaran Biologi. Penjelasan penting yang diucapkan oleh Bu Irma mereka
catat sambil dimengerti. Karena itulah Bu Irma suka mengajar di kelas 11-IPA1.
Murid-muridnya nggak bawel ataupun ribut kayak kelas lain.
Tampak diujung
sana. Seorang cowok yang asyik menyetel lagu menggunakan headsetnya. Sama
sekali tak memerhatikan apa yang dijelaskan Bu Irma. Bu Irma sendiri nggak
berani menegurnya.
Argh! Bosan! Batin cowok itu seraya melepaskan headset dari telinganya. Pandangannya
lurus ke depan menatap papan tulis. Tiba-tiba, ia terngiang dengan kalimat itu.
Sekaligus tiba-tiba teringat dengan seorang gadis. Gadis pertama yang ia temui!
Namun, ia masih ragu. Ia harus melakukan sesuatu untuk meyakinkan diri apakah
benar kalimat itu atau tidak.
“Iya Rivano? Ada
apa?” Tanya Bu Irma melihat Rio mengangkat tangan.
Semua murid tertuju
ke arahnya dengan tatapan heran. Mengapa Rio mengangkat tangan? Tapi mereka
hanya menatap Rio sebentar lalu cepat-cepat konsen ke pelajaran.
“Maaf, Bu. Kepala
saya agak pusing. Boleh saya permisi untuk meminta obat di UKS?” Tanya Rio
dengan suara yang lembut dan terkesan ramah. Sehingga membuat dada-dada yang
mendengarnya berdesir. Jadi, Rio yang dikenal ‘hantu’ SMA Varius bisa berubah
menjadi lembut?
Bu Irma mengangguk
pertanda memberi izin. Ia sama sekali nggak curiga dengan Rio. Biasanya
murid-murid lain sengaja pergi ke UKS gara-gara bosan dengan pelajarannya.
Langkahnya terkesan
penuh misteri. Sangat misteri. Rio berjalan menuju UKS. Tanpa ia sadari
beberapa murid mengintipnya. Sebenarnya Rio tau ada yang mengintipnya. Tapi ia
cuek dan terus berjalan menuju UKS.
Sesampai di UKS,
Rio masuk ke dalam. Mendapati suasana UKS yang sepi. Tapi ia tau ada seseorang
di dalam sana. Cowok itu paham apa yang harus dilakukannya.
“Aw!” Jerit Rio.
Cowok itu memegang
kepalanya yang terasa sakit. Ini menarik perhatian seorang gadis yang
menatapnya dengan tampang melongo. Gadis itu keluar dan mendapati seorang Rio
yang lunglai dan mungkin sebentar lagi akan pigsan.
Adalah Ify yang
melihat Rio butuh bantuan dengan cepat. Dengan sigapnya, Ify memegang tubuh Rio
agar tubuh itu nggak jatuh. Tapi sayang, tenaganya nggak kuat untuk menahan tubuh
Rio yang sebentar lagi akan jatuh. Dan... Keduanya pun sama-sama terjatuh.
Namun, ada sesuatu yang membuat takjub atas kejadian itu.
Giliran Rio yang
menahan tubuh Ify agar tidak jatuh. Tangan kanan Rio memegang pinggang Ify dan
tangan kirinya memegang pundak Ify. Alhasil, pandangan mereka bertemu. Kedua
mata itu bertemu seakan-akan sedang berkomunikasi.
Ify menelan
ludahnya. Tubuhnya gemetar. Jika ia takut, tentu ia akan berteriak. Namun, yang
ia rasakan adalah perasaan aneh yang setiap harinya datang menemaninya. Ify
tidak merasakan takut atau apa. Jadi, Ify dapat menyimpulkan kalo Rio bukanlah
orang yang patut untuk ditakutkan.
“Eh, sorry.” Ucap
Rio seraya menjauh dari Ify.
Sedikit Ify kecewa
karena pandangannya lepas dari Rio. Cowok itu memalingkan wajah seperti
berpikir sesuatu.
“Ng.. Kakak mau
minta obat apa?” Tanya Ify akhirnya.
Kembali Rio menatap
Ify. “Ambilkan minyak kayu putih saja.” Jawabnya.
Ify mengangguk lalu
masuk ke dalam untuk mengambil minyak kayu putih. Ia sempat melihat keadaan
Sivia yang ia rasa mulai membaik. Wajah Sivia nggak pucat lagi. Mungkin
sebentar lagi Sivia akan sadar.
Setelah mengambil
minyak kayu putih, Ify berjalan keluar mencari Rio. Namun sosok itu tak
terlihat. Hah? Ify berubah menjadi kaget. Mengapa tiba-tiba Rio bisa
menghilang? Kemana perginya cowok itu?
“Hei! Aku
dibelakangmu.” Kata seseorang dari belakang.
Ify terlonjak
kaget. Rio? Mengapa cowok itu berada di belakangnya? Kepala Ify menjadi pusing.
Lalu ia berikan minyak kayu putih itu ke Rio.
“Thanks.” Kata Rio.
“I.. Iya. Sama-sama
kak.” Jawab Ify gugup.
Didukung rasa
kegugupan, malu dan mungkin bahagia, Ify masuk ke dalam dan menemui Sivia yang
tampaknya mulai sadar. Ify tidak mempedulikan Rio. Yang harus ia pedulikan
adalah Sivia.
“Fy.. Ify..” Lirih
Sivia.
“Iya Vi? Ada apa?
Apanya yang sakit?” Tanya Ify.
Sivia nggak
langsung menjawab. Matanya ia kejap-kejapkan. Ah, ia baru sadar kalo ia berada
di UKS. Sivia menoleh ke samping kiri. Ada Ify disini. Sivia tersenyum. Namun
wajahnya masih memancarkan aura ketakutan.
“Fy.. Tadi.. Tadi
gue ngeliat hantu..”
***
“Vi, lo serius tadi
liat hantu?”
Ify dan Debo
memutuskan untuk pergi ke rumah Sivia. Hanya untuk melihat kondisi Sivia.
Apakah baik atau tidak. Ternyata kondisi Sivia membaik.
Sivia menghela
nafas. “Iya. Tadi gue liat hantu. Ah, gimana ya jelasinnya? Pokoknya hantu itu
yang membuat gue pingsan.” Jelasnya.
Ify maupun Debo
merinding dibuatnya.
“Hantunya kayak
gimana Vi?” Tanya Debo penasaran.
Sivia tampak
berpikir. “Entahlah. Yang jelas hantunya cowok. Memakai baju putih. Terus
kulitnya... Hiii.. Ngeri ah! Gue nggak bisa bayangkan.”
Jantung Debo seraya
berhenti berdetak mendengar penjelasan Sivia. Sementara Ify berusaha
membayangkan sosok hantu yang diceritakan Sivia.
“Ada apa dengan kulitnya?”
Tanya Debo.
“Ah! Lo kepo
banget!” Kesal Sivia.
Namun, Debo malah
menatap Sivia dengan tatapan tajam. Saat ini ia tak bisa bercanda. Masalah ini
dianggapnya sebagai masalah serius. Sivia jadi sedikit takut dengan tatapan
Debo barusan.
“Gue nggak bisa
bayangin Deb. Intinya, hantu yang gue liat itu mengerikan sekaligus aneh.
Wajahnya kayak hewan. Kulitnya seperti ular. Rambutnya gondrong. Tatapannya
terlihat sayu dan...”
“Cukup!” Kata Debo
tegas.
Sivia terdiam, dan
Ify melihat Debo dengan tatapan yang penuh tanda tanya. Ada apa dengan Debo?
Mengapa Debo bukan terlihat seperti Debo yang biasanya? Debo yang biasanya
bukan seperti Debo saat ini.
“Gue pergi dulu.
Thanks Vi atas penjelasan yang lo kasih ke gue.” Kata Debo lalu pergi
meninggalkan Ify dan Sivia.
Ify dan Sivia
saling berpandangan.
“Sudahlah. Jangan
dibahas lagi. Mungkin aja Debo lagi nggak waras.” Kata Sivia.
Hening sejenak.
Sivia memilih memainkan ponselnya dan tanpa sengaja menemukan fotonya dengan
Alvin. Rasa rindu perlahan menyelinap masuk ke relung hatinya. Sungguh, ia
rindu dengan cowok ini. Alvin....
“Vi..” Ucap Ify
tiba-tiba.
“Hmm..” Jawab Sivia
yang merasa aneh dengan sahabatnya itu.
“Gue.. Gue..”
“Lo kenapa sih Fy?
Jangan buat gue penasaran.”
“Sepertinya gue...
Suka sama Kak Rio..”
***
Dengan langkah yang
tertatih-tatih, Debo memasuki kamarnya. Sapaan dari Mamanya dan dua adiknya ia
hiraukan. Tubuhnya seperti tak bernyawa. Separuh tenaganya hilang dan entah
dimana kini keberadaannya.
Pelan-pelan, Debo
mengambil bingkai foto. Bingkai foto yang telah lama ia simpan. Bingkai itu
adalah kenang-kenangannya dan merupakan kesalahan terbesarnya. Dari bingkai itu
pula masa lalu yang kelam itu menghantuinya. Membuatnya dikejar oleh kesalahan.
“Adrian..”
Lirihnya.
Ya. Di bingkai foto
itu, terlukis jelas wajahn Adrian yang menurutnya sedikit.. Ehm.. Debo tak mau
menjelaskannya.
“Ad, bagaimana
kabar lo? Lo tenang kan di alam sana? Lo nggak dendam kan ke gue?” Tanyanya.
Tak ada jawaban.
Tentu saja. Bingkai foto termasuk benda mati yang nggak bisa berbicara. Bodoh
sekali ia bicara dengan benda mati. Nanti ia dikira orang gila.
“Ad, lo yang
selamatkan nyawa gue. Tetapi selama ini gue sering memusuhi lo dan jijik ke
elo. Maafkan gue Ad..”
Andaikata ia
diijinkan untuk menangis, maka ia akan menangis. Menumpahkan segala rasa dalam
hatinya. Namun, kodratnya sebagai lelaki harus ia jaga. Lelaki itu tidak boleh
menangis. Tidak boleh! Meski nggak ada undang-undang yang mengatakan kalo
lelaki itu nggak boleh menangis.
“Gue heran Ad yang
dijelaskan oleh teman gue. Sosok yang dijelaskan teman gue itu seperti... Ah,
sudahlah. Nggak pantas gue curhat ke elo.”
Debo menyimpan
kembali bingkai foto tua itu, lalu ia tersenyum. Ia yakin sekali. Adrian
bahagia disana. Dan ia yakin sekali Adrian sama sekali nggak dendam padanya.
Karena ia tau, Adrian adalah sesosok anak laki-laki yang baik hati. Tipe orang
yang tidak suka mendendam.
“Ad, do’akan gue ya
agar gadis yang gue cintai nerima gue sebagai kekasihnya..”
***
Sekolah.. Di pagi hari...
Karena ngotot dan
memaksakan diri, akhirnya Sivia diizinkan untuk sekolah. Meski kondisinya
dikatakan belum pulih total. Kejadian kemarin terus saja menggentayangi
pikirannya. Hantu?
“Ehm, Fy, lo..
Lo..”
Ify menoleh ke
samping dan melihat Sivia yang sedang menatapnya. Apa Sivia masih belum percaya
pengakuan darinya kemarin?
“Udah gue bilang,
Vi. Gue suka sama kak Rio. Suka! Lo jangan salah mengartikan. Jujur, gue itu
merasakan takut ketika bertatapan dengan kak Rio. Sama kayak lo. Waktu itu gue
pura-pura nggak merasakan takut.”
“Ya tapi... Kok lo
bisa tahan rasa takut lo?” Tanya Sivia heran.
“Entahlah. Intinya
gue lawan rasa takut gue. Dan gue sadar. Kak Rio itu bukan sesosok yang harus
ditakutkan. Ah, mulai sekarang gue harus akrab dengan dia!”
Untung saja hari
ini Debo nggak masuk. Kalo saja masuk dan mendengarkan pengakuan Ify kalo Ify
suka sama Rio, Debo nggak bisa berbuat apapun. Gadis yang ia sayangi dan ia
cintai nggak bisa ia gapai.
“Kok tumben Debo
nggak masuk?” Tanya Sivia mengalihkan pembicaraan.
Ify hanya
mengangkat bahu.
“Yee.. Galau ni yee
ceritanya.. Hahaha..” Tawa Sivia dan sukses mendapat jitakan dari Ify.
“Gue sukanya sama
Kak Rio! Bukan sama Debo. Debo itu cuma gue anggap sebagai sahabat.”
Sivia
mengangguk-angguk. Namun seperti nggak setuju. Menurutnya, Ify lebih cocok
dengan Debo. Tak tau kenapa ia nggak suka dengan kehadiran Rio di sekolah ini.
Dan ia takut jika Ify benar-benar nekat mendekati Rio.
“Fy, lo nggak
serius kan mau akrab sama kak Rio?” Tanya Sivia.
“Tentu saja serius.
Gue buktikan gue bakal dapetin kak Rio! Apapun yang terjadi!” Tekad Ify.
Entah mengapa Sivia
menjadi cemas. Sangat cemas. Kecemasannya bertambah saat ada bayangan hitam
yang melewati penglihatannya dengan sangat cepat. Sangat cepat sehingga ia tak
bisa menyimpulkan siapa bayangan hitam itu. Namun, bayangan hitam itu ada
kaitannya dengan hantu kemarin. Hantu yang...
Tak usah takut. Aku bukan hantu yang harus kamu takutkan.
Disini, aku hanya ingin mencari seseorang yang ikhlas mencintaiku dengan
sepenuh hati. Tanpa memandang bagaimana keadaan diriku. Alasanku untuk mencari
orang yang mencintaiku secara tulus karena dulu nggak ada siapapun yang mau
menyayangiku. Dan aku berharap, dikesempatan kali ini, ada seseorang yang mau
mencintaiku dengan tulus. Itu saja.
Itulah sebuah
kalimat yang masih ia ingat ketika ia bermimpi yang menghasilkan keringat deras
yang keluar dari tubuhnya. Sivia merasa mimpinya itu memiliki sebuah makna.
Apakah itu?
***
Seorang gadis
berusaha melihat orang yang dicarinya. Tapi, dimana tempat orang itu? Pandangan
matanya dia edarkan ke segala penjuru. Argh! Sial! Orang itu nggak ada. Apa
orang itu nggak masuk sekolah ya? Bukannya kemarin sakit?
“Cari siapa dek?”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar