expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 22 Mei 2014

My Wish Is Can With You ( Part 7 )



Part 7

.

.

.

Kelas 11-IPA1 tampak hening. Masing-masing mendengarkan penjelasan dari Bu Irma yang memegang mata pelajaran Biologi. Penjelasan penting yang diucapkan oleh Bu Irma mereka catat sambil dimengerti. Karena itulah Bu Irma suka mengajar di kelas 11-IPA1. Murid-muridnya nggak bawel ataupun ribut kayak kelas lain.

Tampak diujung sana. Seorang cowok yang asyik menyetel lagu menggunakan headsetnya. Sama sekali tak memerhatikan apa yang dijelaskan Bu Irma. Bu Irma sendiri nggak berani menegurnya.

Argh! Bosan! Batin cowok itu seraya melepaskan headset dari telinganya. Pandangannya lurus ke depan menatap papan tulis. Tiba-tiba, ia terngiang dengan kalimat itu. Sekaligus tiba-tiba teringat dengan seorang gadis. Gadis pertama yang ia temui! Namun, ia masih ragu. Ia harus melakukan sesuatu untuk meyakinkan diri apakah benar kalimat itu atau tidak.

“Iya Rivano? Ada apa?” Tanya Bu Irma melihat Rio mengangkat tangan.

Semua murid tertuju ke arahnya dengan tatapan heran. Mengapa Rio mengangkat tangan? Tapi mereka hanya menatap Rio sebentar lalu cepat-cepat konsen ke pelajaran.

“Maaf, Bu. Kepala saya agak pusing. Boleh saya permisi untuk meminta obat di UKS?” Tanya Rio dengan suara yang lembut dan terkesan ramah. Sehingga membuat dada-dada yang mendengarnya berdesir. Jadi, Rio yang dikenal ‘hantu’ SMA Varius bisa berubah menjadi lembut?

Bu Irma mengangguk pertanda memberi izin. Ia sama sekali nggak curiga dengan Rio. Biasanya murid-murid lain sengaja pergi ke UKS gara-gara bosan dengan pelajarannya.

Langkahnya terkesan penuh misteri. Sangat misteri. Rio berjalan menuju UKS. Tanpa ia sadari beberapa murid mengintipnya. Sebenarnya Rio tau ada yang mengintipnya. Tapi ia cuek dan terus berjalan menuju UKS.

Sesampai di UKS, Rio masuk ke dalam. Mendapati suasana UKS yang sepi. Tapi ia tau ada seseorang di dalam sana. Cowok itu paham apa yang harus dilakukannya.

“Aw!” Jerit Rio.

Cowok itu memegang kepalanya yang terasa sakit. Ini menarik perhatian seorang gadis yang menatapnya dengan tampang melongo. Gadis itu keluar dan mendapati seorang Rio yang lunglai dan mungkin sebentar lagi akan pigsan.

Adalah Ify yang melihat Rio butuh bantuan dengan cepat. Dengan sigapnya, Ify memegang tubuh Rio agar tubuh itu nggak jatuh. Tapi sayang, tenaganya nggak kuat untuk menahan tubuh Rio yang sebentar lagi akan jatuh. Dan... Keduanya pun sama-sama terjatuh. Namun, ada sesuatu yang membuat takjub atas kejadian itu.

Giliran Rio yang menahan tubuh Ify agar tidak jatuh. Tangan kanan Rio memegang pinggang Ify dan tangan kirinya memegang pundak Ify. Alhasil, pandangan mereka bertemu. Kedua mata itu bertemu seakan-akan sedang berkomunikasi.

Ify menelan ludahnya. Tubuhnya gemetar. Jika ia takut, tentu ia akan berteriak. Namun, yang ia rasakan adalah perasaan aneh yang setiap harinya datang menemaninya. Ify tidak merasakan takut atau apa. Jadi, Ify dapat menyimpulkan kalo Rio bukanlah orang yang patut untuk ditakutkan.

“Eh, sorry.” Ucap Rio seraya menjauh dari Ify.

Sedikit Ify kecewa karena pandangannya lepas dari Rio. Cowok itu memalingkan wajah seperti berpikir sesuatu.

“Ng.. Kakak mau minta obat apa?” Tanya Ify akhirnya.

Kembali Rio menatap Ify. “Ambilkan minyak kayu putih saja.” Jawabnya.

Ify mengangguk lalu masuk ke dalam untuk mengambil minyak kayu putih. Ia sempat melihat keadaan Sivia yang ia rasa mulai membaik. Wajah Sivia nggak pucat lagi. Mungkin sebentar lagi Sivia akan sadar.

Setelah mengambil minyak kayu putih, Ify berjalan keluar mencari Rio. Namun sosok itu tak terlihat. Hah? Ify berubah menjadi kaget. Mengapa tiba-tiba Rio bisa menghilang? Kemana perginya cowok itu?

“Hei! Aku dibelakangmu.” Kata seseorang dari belakang.

Ify terlonjak kaget. Rio? Mengapa cowok itu berada di belakangnya? Kepala Ify menjadi pusing. Lalu ia berikan minyak kayu putih itu ke Rio.

“Thanks.” Kata Rio.

“I.. Iya. Sama-sama kak.” Jawab Ify gugup.

Didukung rasa kegugupan, malu dan mungkin bahagia, Ify masuk ke dalam dan menemui Sivia yang tampaknya mulai sadar. Ify tidak mempedulikan Rio. Yang harus ia pedulikan adalah Sivia.

“Fy.. Ify..” Lirih Sivia.

“Iya Vi? Ada apa? Apanya yang sakit?” Tanya Ify.

Sivia nggak langsung menjawab. Matanya ia kejap-kejapkan. Ah, ia baru sadar kalo ia berada di UKS. Sivia menoleh ke samping kiri. Ada Ify disini. Sivia tersenyum. Namun wajahnya masih memancarkan aura ketakutan.

“Fy.. Tadi.. Tadi gue ngeliat hantu..”

***

“Vi, lo serius tadi liat hantu?”

Ify dan Debo memutuskan untuk pergi ke rumah Sivia. Hanya untuk melihat kondisi Sivia. Apakah baik atau tidak. Ternyata kondisi Sivia membaik.

Sivia menghela nafas. “Iya. Tadi gue liat hantu. Ah, gimana ya jelasinnya? Pokoknya hantu itu yang membuat gue pingsan.” Jelasnya.

Ify maupun Debo merinding dibuatnya.

“Hantunya kayak gimana Vi?” Tanya Debo penasaran.

Sivia tampak berpikir. “Entahlah. Yang jelas hantunya cowok. Memakai baju putih. Terus kulitnya... Hiii.. Ngeri ah! Gue nggak bisa bayangkan.”

Jantung Debo seraya berhenti berdetak mendengar penjelasan Sivia. Sementara Ify berusaha membayangkan sosok hantu yang diceritakan Sivia.

“Ada apa dengan kulitnya?” Tanya Debo.

“Ah! Lo kepo banget!” Kesal Sivia.

Namun, Debo malah menatap Sivia dengan tatapan tajam. Saat ini ia tak bisa bercanda. Masalah ini dianggapnya sebagai masalah serius. Sivia jadi sedikit takut dengan tatapan Debo barusan.

“Gue nggak bisa bayangin Deb. Intinya, hantu yang gue liat itu mengerikan sekaligus aneh. Wajahnya kayak hewan. Kulitnya seperti ular. Rambutnya gondrong. Tatapannya terlihat sayu dan...”

“Cukup!” Kata Debo tegas.

Sivia terdiam, dan Ify melihat Debo dengan tatapan yang penuh tanda tanya. Ada apa dengan Debo? Mengapa Debo bukan terlihat seperti Debo yang biasanya? Debo yang biasanya bukan seperti Debo saat ini.

“Gue pergi dulu. Thanks Vi atas penjelasan yang lo kasih ke gue.” Kata Debo lalu pergi meninggalkan Ify dan Sivia.

Ify dan Sivia saling berpandangan.

“Sudahlah. Jangan dibahas lagi. Mungkin aja Debo lagi nggak waras.” Kata Sivia.

Hening sejenak. Sivia memilih memainkan ponselnya dan tanpa sengaja menemukan fotonya dengan Alvin. Rasa rindu perlahan menyelinap masuk ke relung hatinya. Sungguh, ia rindu dengan cowok ini. Alvin....

“Vi..” Ucap Ify tiba-tiba.

“Hmm..” Jawab Sivia yang merasa aneh dengan sahabatnya itu.

“Gue.. Gue..”

“Lo kenapa sih Fy? Jangan buat gue penasaran.”

“Sepertinya gue... Suka sama Kak Rio..”

***

Dengan langkah yang tertatih-tatih, Debo memasuki kamarnya. Sapaan dari Mamanya dan dua adiknya ia hiraukan. Tubuhnya seperti tak bernyawa. Separuh tenaganya hilang dan entah dimana kini keberadaannya.

Pelan-pelan, Debo mengambil bingkai foto. Bingkai foto yang telah lama ia simpan. Bingkai itu adalah kenang-kenangannya dan merupakan kesalahan terbesarnya. Dari bingkai itu pula masa lalu yang kelam itu menghantuinya. Membuatnya dikejar oleh kesalahan.

“Adrian..” Lirihnya.

Ya. Di bingkai foto itu, terlukis jelas wajahn Adrian yang menurutnya sedikit.. Ehm.. Debo tak mau menjelaskannya.

“Ad, bagaimana kabar lo? Lo tenang kan di alam sana? Lo nggak dendam kan ke gue?” Tanyanya.

Tak ada jawaban. Tentu saja. Bingkai foto termasuk benda mati yang nggak bisa berbicara. Bodoh sekali ia bicara dengan benda mati. Nanti ia dikira orang gila.

“Ad, lo yang selamatkan nyawa gue. Tetapi selama ini gue sering memusuhi lo dan jijik ke elo. Maafkan gue Ad..”

Andaikata ia diijinkan untuk menangis, maka ia akan menangis. Menumpahkan segala rasa dalam hatinya. Namun, kodratnya sebagai lelaki harus ia jaga. Lelaki itu tidak boleh menangis. Tidak boleh! Meski nggak ada undang-undang yang mengatakan kalo lelaki itu nggak boleh menangis.

“Gue heran Ad yang dijelaskan oleh teman gue. Sosok yang dijelaskan teman gue itu seperti... Ah, sudahlah. Nggak pantas gue curhat ke elo.”

Debo menyimpan kembali bingkai foto tua itu, lalu ia tersenyum. Ia yakin sekali. Adrian bahagia disana. Dan ia yakin sekali Adrian sama sekali nggak dendam padanya. Karena ia tau, Adrian adalah sesosok anak laki-laki yang baik hati. Tipe orang yang tidak suka mendendam.

“Ad, do’akan gue ya agar gadis yang gue cintai nerima gue sebagai kekasihnya..”

***

Sekolah.. Di pagi hari...

Karena ngotot dan memaksakan diri, akhirnya Sivia diizinkan untuk sekolah. Meski kondisinya dikatakan belum pulih total. Kejadian kemarin terus saja menggentayangi pikirannya. Hantu?

“Ehm, Fy, lo.. Lo..”

Ify menoleh ke samping dan melihat Sivia yang sedang menatapnya. Apa Sivia masih belum percaya pengakuan darinya kemarin?

“Udah gue bilang, Vi. Gue suka sama kak Rio. Suka! Lo jangan salah mengartikan. Jujur, gue itu merasakan takut ketika bertatapan dengan kak Rio. Sama kayak lo. Waktu itu gue pura-pura nggak merasakan takut.”

“Ya tapi... Kok lo bisa tahan rasa takut lo?” Tanya Sivia heran.

“Entahlah. Intinya gue lawan rasa takut gue. Dan gue sadar. Kak Rio itu bukan sesosok yang harus ditakutkan. Ah, mulai sekarang gue harus akrab dengan dia!”

Untung saja hari ini Debo nggak masuk. Kalo saja masuk dan mendengarkan pengakuan Ify kalo Ify suka sama Rio, Debo nggak bisa berbuat apapun. Gadis yang ia sayangi dan ia cintai nggak bisa ia gapai.

“Kok tumben Debo nggak masuk?” Tanya Sivia mengalihkan pembicaraan.

Ify hanya mengangkat bahu.

“Yee.. Galau ni yee ceritanya.. Hahaha..” Tawa Sivia dan sukses mendapat jitakan dari Ify.

“Gue sukanya sama Kak Rio! Bukan sama Debo. Debo itu cuma gue anggap sebagai sahabat.”

Sivia mengangguk-angguk. Namun seperti nggak setuju. Menurutnya, Ify lebih cocok dengan Debo. Tak tau kenapa ia nggak suka dengan kehadiran Rio di sekolah ini. Dan ia takut jika Ify benar-benar nekat mendekati Rio.

“Fy, lo nggak serius kan mau akrab sama kak Rio?” Tanya Sivia.

“Tentu saja serius. Gue buktikan gue bakal dapetin kak Rio! Apapun yang terjadi!” Tekad Ify.

Entah mengapa Sivia menjadi cemas. Sangat cemas. Kecemasannya bertambah saat ada bayangan hitam yang melewati penglihatannya dengan sangat cepat. Sangat cepat sehingga ia tak bisa menyimpulkan siapa bayangan hitam itu. Namun, bayangan hitam itu ada kaitannya dengan hantu kemarin. Hantu yang...

Tak usah takut. Aku bukan hantu yang harus kamu takutkan. Disini, aku hanya ingin mencari seseorang yang ikhlas mencintaiku dengan sepenuh hati. Tanpa memandang bagaimana keadaan diriku. Alasanku untuk mencari orang yang mencintaiku secara tulus karena dulu nggak ada siapapun yang mau menyayangiku. Dan aku berharap, dikesempatan kali ini, ada seseorang yang mau mencintaiku dengan tulus. Itu saja.

Itulah sebuah kalimat yang masih ia ingat ketika ia bermimpi yang menghasilkan keringat deras yang keluar dari tubuhnya. Sivia merasa mimpinya itu memiliki sebuah makna. Apakah itu?

***

Seorang gadis berusaha melihat orang yang dicarinya. Tapi, dimana tempat orang itu? Pandangan matanya dia edarkan ke segala penjuru. Argh! Sial! Orang itu nggak ada. Apa orang itu nggak masuk sekolah ya? Bukannya kemarin sakit?

“Cari siapa dek?”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar