expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 24 Mei 2014

My Wish Is Can With You ( Part 22 )



Part 22

.

.

.

Setengah jam setelah kepergian Sivia, salah seorang guru baru mengizinkan muridnya untuk pulang. Bel panjang pun berbunyi. Murid-murid pada berseru karena bahagia. Ify yang masih dengan kemarahannya dikagetkan oleh sentuhan tangan Debo di pundaknya.

“Eh, sorry Fy..” Kata Debo.

Ify mencoba untuk tersenyum. Tiba-tiba, Ify memegang lengan Debo. Hal ini membuat Debo kaget. Cowok itu nggak bisa mengontrol detakan jantungnya. Saat ini, jaraknya dengan jarak Ify sangat dekat. Gue masih mencintai lo Fy... Batin Debo.

“Deb, ayo kita pacaran!” Kata Ify.

Suasana kelas sedang sepi. Hanya ia dan Ify yang masih berada di kelas. Jika ada satu saja murid yang masih berada di kelas, tentu saja murid itu akan membuat gosip bahwa Ify dan Debo melakukan hal yang tidak-tidak di kelas. Padahal, pikiran Debo tidak sampai sejauh itu. Yang menjadi pikirannya, mengapa tiba-tiba Ify mengajaknya pacaran?

“Lo denger nggak Deb?” Tanya Ify setengah membentak.

Kini, Debo paham. Saat ini, Ify sedang marah. Jelas-jelas permintaan gila Ify nggak sesuai dengan hatinya. Ify masih mencintai Rio dan nggak akan pindah ke yang lain. Termasuk dirinya. Debo tersenyum miris.

“Dengar Fy.” Jawab Debo singkat.

“Terus?”

Sebaiknya, apa yang harus gue lakukan? Ini kesempatan besar gue untuk mendapatkan Ify. Tapi, apa iya gue setuju kalo gue dan Ify pacaran mulai detik ini? Bagaimana dengan Rio? Gue ngerasa cowok itu juga mencintai Ify.. Debo bingung harus berbuat apa.

“Bodoh!”

Tiba-tiba Ify mendorongnya. Membuat Debo kaget bak disambar petir. Namun ia nggak sampai terjungkal ke belakang.

“Ini kesempatan lo Deb! Ayo, kita pacaran! Gue udah nggak cinta lagi sama cowok kasar itu. Bukannya lo sangat menginginkan gue Deb?” Bentak Ify.

Debo berusaha menenangkan Ify yang lepas dari kontrol. Baru kali ini Ify menjadi seperti ini. Pelan-pelan, Debo mengajak Ify duduk. Lalu ia memeluk erat tubuh Ify.

“Fy, tenang. Sebaiknya kita pulang saja. Urusan pacaran atau tidak, jangan dibahas dulu. Keadaan lo yang lebih utama lo urus.” Jelas Debo sambil mengelus rambut panjang Ify.

Sebuah tangis kecil mulai terdengar. Ify terisak di pelukan Debo. Namun, ia merasa nyaman berada di pelukan sahabat yang disayanginya itu.

“I.. Iya.. Kita pulang aja..” Kata Ify terbata-bata.

Debo tersenyum. Ia membantu Ify berdiri. Setelah Ify berdiri, ia merangkul gadis itu keluar dari kelas. Lapangan utama tampak sepi. Kelas-kelas lain juga sepi. Mungkin ada lima enam orang yang masih berkeliaran di sekolah.

Ketika mereka sampai di lapangan utama yang sepi, keduanya di kagetkan oleh penampakan seorang cowok yang wajahnya tampak pucat. Debo benar-benar kaget. Terutama Ify. Walaupun ia sangat membenci cowok itu karena kekasarannya kemarin, tidak seharusnya ia membenci dengan sangat.

“Fy, maafkan gue..” Lirih cowok itu.

Sepertinya, akan terjadi adegan tak terduga. Debo yang merasa was-was hendak mengajak Ify menghindar dari Rio. Syukurlah Ify menurut. Tapi sayangnya, tangan Ify tiba-tiba di cengkram kuat oleh Rio. Hal ini membuat Ify makin marah dengan Rio.

“Mau apa lo? Lepasin tangan gue!” Bentak Ify kasar.

Sementara Rio berusaha untuk tenang. Padahal hatinya terasa sakit mendapat bentakan dari Ify. Rio tidak akan melepas tangan Ify sebelum Ify menerima maafnya.

“Gue minta maaf Fy atas kejadian kemarin.” Kata Rio.

Ify tersenyum sinis. “Lo jangan minta maaf ke gue. Sebaiknya lo minta maaf ke Shilla. Lo yang membuat Shilla seperti orang gila. Dasar cowok kasar!”

“Nggak! Gue harus minta maaf ke elo, bukan Shilla!”

Sepertinya Rio kukuh dengan pendiriannya. Ia emang salah telah melakukan perbuatan kasar pada Shilla. Tapi, rasa bersalahnya pada Ify jauh lebih besar dibanding rasa bersalahnya pada Shilla. Meskipun Rio nggak tau apa kesalahannya. Tapi ia harus menerima maaf dari Ify.

Perang mulut dimulai. Debo teringat dengan kejadian kemarin. Kejadian perang mulut antara Rio dan Shilla, dan sekarang beralih ke Rio dan Ify. Apa.. Apa salah satu dari keduanya akan melakukan tindakan kasar seperti kemarin?

“Lepasin tangan gue! Lepasin!” Bentak Ify seiring dengan air matanya yang menetes deras.

“Nggak! Nggak akan! Gue nggak akan...”

PLAKK !!!

Sebelumnya, Debo menutup kedua matanya. Ia takut melihat sesuatu yang tak di duganya itu. Setelah ia membuka matanya, pertama yang ia lihat adalah darah. Darah merah yang tak biasa. Debo takut jika darah itu adalah darah Ify. Tapi, Debo mendapati keadaan Ify yang baik-baik saja. Tapi tidak dengan Rio.

Tadi, Ify benar-benar marah. Tangannya yang dicengkram erat oleh Rio langsung ia balas dengan seluruh tenaganya. Entah darimana gadis itu mendapat kekuatan, Ify berhasil melepas tangannya yang dicengkram kuat oleh Rio. Lalu, kedua tangannya yang haus akan balas dendam itu langsung menampar wajah Rio hingga keluarlah cairan merah dari dalam hidungnya.

Kejadian ini bagaikan sebuah mimpi buruk yang tak berujung. Benar apa kata mereka. Emosi dapat mengalahkan segalanya. Emosi dapat menguasai kesadaran kita dari sesuatu yang terkecil hingga yang paling besar.

Ify menutup mulutnya. Ia tidak menyangka. Ia bisa melukai Rio sekeras ini. Mulutnya tersegel rapat. Tidak bisa ia gerakkan sedikitpun. Begitu pula dengan Debo. Ia tidak menyangka ada gadis lembut seperti Ify berhasil melukai seorang cowok hingga berdarah. Tapi Debo tidak percaya dengan darah itu. Apa darah itu hanya dibuat-buat oleh Rio? Batinnya.

Sementara Rio, cowok itu terlihat berusaha untuk menguasai diri. Pipinya yang tampak merah ia pegang, sehingga darah yang keluar dari hidungnya menetesi tangannya. Cowok itu juga diam. Cowok itu tidak berbicara sedikit pun. Mengeluh sakit pun tidak.

Dan... Sesuatu yang tidak di duga mereka pun terjadi. Rio tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Alhasil, tubuh itu ambruk di atas paking blok lapangan yang panas. Darah yang keluar dari hidungnya tidak kunjung berhenti.

“D.. Deb..” Lirih Ify dicampur dengan segala kekagetannya sekaligus rasa takutnya.

Debo mendekati Rio. “Cepat cari bantuan!” Ucapnya yang nyaris tidak di dengar oleh Ify.

***

Sedari tadi, Ify berjalan mondar-mandir. Membuat siapapun yang melihatnya merasa pusing. Termasuk Debo. Beberapa menit kemudian, datanglah Sivia dan Alvin. Sivia tampak panik melihat kondisi Ify. Sementara Alvin yang nggak tau apa-apa mencoba untuk menenangkan Sivia.

Kedua mata Debo berbinar-binar melihat kedatangan Alvin yang sudah lama tidak ia lihat. Alvin pun memilih duduk di samping Debo sambil menjelaskan dari A sampai Z mengenai ia yang memutuskan pindah sekolah demi misinya lancar. Tentu saja Debo nggak setuju Alvin pindah sekolah. Soalnya tim futsalnya kehilangan seorang pemain yang hebat. Alvin hanya tertawa mendengar ucapan Debo yang baginya berlebihan.

“Fy, kak Rio nggak papa? Kenapa kak Rio bisa di rumah sakit?” Tanya Sivia kebingungan.

Yang ditanya nggak menjawab. Percuma saja Sivia bertanya pada Ify. Gadis itu sama sekali tidak mau menggeraknya mulutnya. Sivia beralih menatap Debo yang sedang tertawa dengan kekasihnya.

“Deb, lo tau kenapa kak Rio bisa ada disini?” Tanya Sivia.

Untunglah Debo tidak diam seperti Ify. Debo menceritakan awal kejadian yang tidak di duganya itu. Mulai dari perang mulut antara Rio dan Ify lalu berakhir dengan tamparan keras dari Ify mengenai pipi Rio.

Dari cerita Debo yang diyakini Sivia adalah benar dan tak di buat-buat, ada yang ganjil disana. Masa’ hanya karena sebuah tamparan Rio bisa dilarikan di rumah sakit?

“Gue juga heran Vi.” Aku Debo.

Sivia mengangguk. “Rio bisa saja membuat suatu keadaan yang mustahil menjadi nyata.” Ucapnya.

Debo mengerutkan kening. “Gue nggak ngerti.”

Seorang dokter keluar dari kamar rawat Rio. Dokter yang terlihat ramah itu melihat satu persatu sahabat pasien yang sedang menunggu informasinya.

“Teman kalian hanya pingsan saja. Mungkin besok teman kalian sadar.” Kata dokter itu.

Ify yang mendengarnya tampak lega. Pasalnya, ia sangat khawatir bila ada hal buruk yang terjadi dengan Rio. Jika seandainya memang terjadi, tentu Ify merasa bersalah. Bisa-bisa ia dibawa ke pengadilan karena ulahnya.

“Fy, sebaiknya lo pulang aja. Gue yang nunggu Rio sampai pagi.” Kata Debo yang suaranya terdengar lembut di telinga Ify.

***

Dua hari kemudian...

Kondisi Shilla tidak berubah. Shilla masih dalam keadaan yang tidak biasa. Sebisa mungkin Ayah dan Ibunya mengembalikan kesadaran Shilla. Namun, usaha mereka selalu gagal. Ingin sekali mereka menuntut Rio untuk mempertanggung jawabkan ulahnya. Tetapi berhubung kondisi Rio yang sedang di rawat di rumah sakit, kedua orangtua Shilla mengurungkan niatnya.

Pagi menjelang siang ini, seorang cowok yang setiap harinya menemani Shilla kini datang sambil membawa sebatang cokelat Silver Queen. Shilla tersenyum lebar melihat cowok itu.

“Pagi kak Adrian!” Sapa Shilla bahagia.

Cowok itu tersenyum kecut. Entah mengapa Shilla bisa menganggapnya sebagai Adrian. Apa karena Shilla sangat tertekan sehingga menganggap gue adalah Adrian? Shill.. Gue Gabriel, bukan Adrian...

“Ini gue bawain lo cokelat.” Kata cowok itu yang ternyata adalah Gabriel.

Dengan ringannya Shilla mengambil cokelat di tangan Gabriel. Shilla memang suka makan cokelat. Baginya, cokelat dapat menceriakan harinya dan dapat menghapus kesedihan yang dialaminya.

“Kak, anter Shilla jalan-jalan ke Dufan yuk!” Ajak Shilla semangat.

Tentu Gabriel nggak bisa menolak ajakan Shilla. Setelah meminta izin kedua orangtua Shilla, akhirnya Gabriel dapat mengajak Shilla pergi ke Dufan asalkan Shilla dalam keadaan aman saat pulang nanti. Gabriel mengangguk dengan nyawanya sebagai jaminan.

Setelah sampai di Dufan, wajah Shilla begitu ceria. Hal ini membuat Gabriel tak henti-hentinya tersenyum. Gue nggak menyangka, cewek yang selama ini gue cintai akhirnya merespon gue dengan baik. Dulu, banyak cowok yang menyukai Shilla. Termasuk Debo dan Cakka. Dua cowok itu merupakan saingan beratnya. Gabriel ingat, Cakka sempat mengancam Debo jika Debo berhasil mendapatkan hati Shilla.

“Kak, Shilla mau lihat lumba-lumba.” Pinta Shilla.

Untunglah saat ini Dufan sedang sepi karena bukan hari libur. Keduanya pun berlari ria menuju letak atraksi hewan yang menggemaskan itu. Gabriel teringat lima tahun yang lalu saat ia sempat berenang dengan seekor lumba-lumba. Setelah menangis-nangis karena nggak diijinkan oleh Ibunya.

“Shill..”

Gabriel merasa ada yang tidak beres. Shilla diam di tempat dan tidak meresponnya. Kedua mata Shilla terpusat pada arah sebuah bangku yang di duduki oleh seorang cowok. Siapa cowok itu? Kok tampangnya lesu begitu? Batin Gabriel.

“Kak.. Kak Adrian..” Lirih Shilla.

Bulu kuduk Gabriel merinding ketika Shilla menyebut nama ‘Adrian’. Bukannya Adrian sudah meninggal? Mustahil kalo cowok itu Adrian!

“Shill, jadi nggak lihat lumba-lumba?” Tanya Gabriel.

Lagi-lagi Shilla tidak meresponnya. Kedua mata Shilla tetap terpusat pada cowok yang dianggapnya sebagai Adrian.

“Kak Adrian.. Shilla.. Shilla..”

Dan... Shilla pun pingsan untuk yang kedua kalinya.

***

Cowok itu menatap nanar pemandangan di depannya. Dada cowok itu terasa sakit. Sakit sekali. Sama dengan hatinya yang sedang terluka. Dilihatnya keadaan sekitar. Ada empat lima orang yang berlalu melintasinya. Cowok itu tertawa. Menertawakan hidupnya yang begitu miris ini.

Kenapa Tuhan tidak adil padanya? Kenapa Tuhan memberinya takdir buruk yang dibenci orang-orang? Kenapa Tuhan suka melihatnya menderita? Padahal, disana banyak manusia-manusia jahat yang dengan sekenanya hidup berfoya-foya. Tanpa memikirkan akibatnya.

Andaikan hidup gue bahagia, layaknya hidup seperti manusia-manusia yang bahagia. Punya seorang Ibu yang dengan tulus menyayangi mereka, dan seorang Ayah yang menjaga mereka. Gue. Gue disini kesepian. Gue dilahirkan untuk menderita. Gue dilahirkan oleh rahim seorang Ibu yang penyakitan.

Sekali saja, ia ingin melihat wajah Ibunya. Tapi sayangnya, Ibunya sudah tiada. Sementara Ayah, ia sudah melihatnya. Walau sebentar, tapi ia sangat senang. Ternyata, Ayah mencintainya secara tulus tanpa melihat kondisi fisiknya. Tapi itu sekarang, bukan dulu. Yang ia butuhkan dulu, bukan sekarang.

Sebentar lagi gue akan pergi. Tapi, gue nggak mau pergi. Gue nggak mau. Ada suatu hal yang menyuruh hati gue tetap tinggal disini. Yaitu ‘dia’. Seorang gadis yang sangat gue cinta. Seharusnya, gue bodoh mencintai gadis itu. Sangat bodoh.

Tiba-tiba, ia teringat dengan adiknya. Atau lebih tepatnya lagi adik tirinya. Maafkan gue Shilla... Maafkan gue karena telah membuat lo menjadi seperti ini. Jujur, waktu itu gue nggak tega. Gue harap, lo mau maafin gue.

Lalu, cowok itu beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Ia tidak tau langkah selanjutnya yang ia ambil. Apakah lebih baik ia kembali saja meski ia masih diberi waktu?

***

Hari ini hari kedua Rio di rawat di rumah sakit. Walau dokter mengatakan kondisi Rio baik-baik saja, tetapi Ify gelisah. Sampai detik ini, Rio belum juga sadar. Apa dokter itu bohong? Mudah saja kan dokter itu berbohong agar hatinya tenang.

Ify telah sampai di rumah sakit. Tapi, ia merasa ada yang lain. Ia melihat wajah Debo yang panik, juga wajah Sivia dan Alvin. Dengan langkah lebar, Ify berlari menuju Debo cs berada.

“Deb, Vi, Vin, ada apa? Kenapa wajah kalian begitu panik? Apa yang terjadi dengan kak Rio?” Tanya Ify bertubi-tubi.

Namun, diantara ketiganya nggak ada yang mau menjawab. Ify mulai merasakan bau-bau tak enak. Jangan-jangan... Kak Rio..

“Fy..” Akhirnya Sivia bicara. “Kak Rio.. Kak Rio...”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar