Part 22
.
.
.
Setengah jam
setelah kepergian Sivia, salah seorang guru baru mengizinkan muridnya untuk
pulang. Bel panjang pun berbunyi. Murid-murid pada berseru karena bahagia. Ify
yang masih dengan kemarahannya dikagetkan oleh sentuhan tangan Debo di
pundaknya.
“Eh, sorry Fy..”
Kata Debo.
Ify mencoba untuk
tersenyum. Tiba-tiba, Ify memegang lengan Debo. Hal ini membuat Debo kaget.
Cowok itu nggak bisa mengontrol detakan jantungnya. Saat ini, jaraknya dengan
jarak Ify sangat dekat. Gue masih
mencintai lo Fy... Batin Debo.
“Deb, ayo kita
pacaran!” Kata Ify.
Suasana kelas
sedang sepi. Hanya ia dan Ify yang masih berada di kelas. Jika ada satu saja
murid yang masih berada di kelas, tentu saja murid itu akan membuat gosip bahwa
Ify dan Debo melakukan hal yang tidak-tidak di kelas. Padahal, pikiran Debo
tidak sampai sejauh itu. Yang menjadi pikirannya, mengapa tiba-tiba Ify
mengajaknya pacaran?
“Lo denger nggak
Deb?” Tanya Ify setengah membentak.
Kini, Debo paham.
Saat ini, Ify sedang marah. Jelas-jelas permintaan gila Ify nggak sesuai dengan
hatinya. Ify masih mencintai Rio dan nggak akan pindah ke yang lain. Termasuk
dirinya. Debo tersenyum miris.
“Dengar Fy.” Jawab
Debo singkat.
“Terus?”
Sebaiknya, apa yang harus gue lakukan? Ini kesempatan
besar gue untuk mendapatkan Ify. Tapi, apa iya gue setuju kalo gue dan Ify
pacaran mulai detik ini? Bagaimana dengan Rio? Gue ngerasa cowok itu juga
mencintai Ify.. Debo bingung
harus berbuat apa.
“Bodoh!”
Tiba-tiba Ify
mendorongnya. Membuat Debo kaget bak disambar petir. Namun ia nggak sampai
terjungkal ke belakang.
“Ini kesempatan lo
Deb! Ayo, kita pacaran! Gue udah nggak cinta lagi sama cowok kasar itu.
Bukannya lo sangat menginginkan gue Deb?” Bentak Ify.
Debo berusaha
menenangkan Ify yang lepas dari kontrol. Baru kali ini Ify menjadi seperti ini.
Pelan-pelan, Debo mengajak Ify duduk. Lalu ia memeluk erat tubuh Ify.
“Fy, tenang.
Sebaiknya kita pulang saja. Urusan pacaran atau tidak, jangan dibahas dulu.
Keadaan lo yang lebih utama lo urus.” Jelas Debo sambil mengelus rambut panjang
Ify.
Sebuah tangis kecil
mulai terdengar. Ify terisak di pelukan Debo. Namun, ia merasa nyaman berada di
pelukan sahabat yang disayanginya itu.
“I.. Iya.. Kita
pulang aja..” Kata Ify terbata-bata.
Debo tersenyum. Ia
membantu Ify berdiri. Setelah Ify berdiri, ia merangkul gadis itu keluar dari
kelas. Lapangan utama tampak sepi. Kelas-kelas lain juga sepi. Mungkin ada lima
enam orang yang masih berkeliaran di sekolah.
Ketika mereka
sampai di lapangan utama yang sepi, keduanya di kagetkan oleh penampakan
seorang cowok yang wajahnya tampak pucat. Debo benar-benar kaget. Terutama Ify.
Walaupun ia sangat membenci cowok itu karena kekasarannya kemarin, tidak
seharusnya ia membenci dengan sangat.
“Fy, maafkan gue..”
Lirih cowok itu.
Sepertinya, akan
terjadi adegan tak terduga. Debo yang merasa was-was hendak mengajak Ify
menghindar dari Rio. Syukurlah Ify menurut. Tapi sayangnya, tangan Ify
tiba-tiba di cengkram kuat oleh Rio. Hal ini membuat Ify makin marah dengan
Rio.
“Mau apa lo? Lepasin
tangan gue!” Bentak Ify kasar.
Sementara Rio
berusaha untuk tenang. Padahal hatinya terasa sakit mendapat bentakan dari Ify.
Rio tidak akan melepas tangan Ify sebelum Ify menerima maafnya.
“Gue minta maaf Fy
atas kejadian kemarin.” Kata Rio.
Ify tersenyum
sinis. “Lo jangan minta maaf ke gue. Sebaiknya lo minta maaf ke Shilla. Lo yang
membuat Shilla seperti orang gila. Dasar cowok kasar!”
“Nggak! Gue harus
minta maaf ke elo, bukan Shilla!”
Sepertinya Rio
kukuh dengan pendiriannya. Ia emang salah telah melakukan perbuatan kasar pada
Shilla. Tapi, rasa bersalahnya pada Ify jauh lebih besar dibanding rasa
bersalahnya pada Shilla. Meskipun Rio nggak tau apa kesalahannya. Tapi ia harus
menerima maaf dari Ify.
Perang mulut
dimulai. Debo teringat dengan kejadian kemarin. Kejadian perang mulut antara
Rio dan Shilla, dan sekarang beralih ke Rio dan Ify. Apa.. Apa salah satu dari
keduanya akan melakukan tindakan kasar seperti kemarin?
“Lepasin tangan
gue! Lepasin!” Bentak Ify seiring dengan air matanya yang menetes deras.
“Nggak! Nggak akan!
Gue nggak akan...”
PLAKK !!!
Sebelumnya, Debo
menutup kedua matanya. Ia takut melihat sesuatu yang tak di duganya itu.
Setelah ia membuka matanya, pertama yang ia lihat adalah darah. Darah merah
yang tak biasa. Debo takut jika darah itu adalah darah Ify. Tapi, Debo
mendapati keadaan Ify yang baik-baik saja. Tapi tidak dengan Rio.
Tadi, Ify
benar-benar marah. Tangannya yang dicengkram erat oleh Rio langsung ia balas
dengan seluruh tenaganya. Entah darimana gadis itu mendapat kekuatan, Ify
berhasil melepas tangannya yang dicengkram kuat oleh Rio. Lalu, kedua tangannya
yang haus akan balas dendam itu langsung menampar wajah Rio hingga keluarlah
cairan merah dari dalam hidungnya.
Kejadian ini
bagaikan sebuah mimpi buruk yang tak berujung. Benar apa kata mereka. Emosi
dapat mengalahkan segalanya. Emosi dapat menguasai kesadaran kita dari sesuatu
yang terkecil hingga yang paling besar.
Ify menutup
mulutnya. Ia tidak menyangka. Ia bisa melukai Rio sekeras ini. Mulutnya tersegel
rapat. Tidak bisa ia gerakkan sedikitpun. Begitu pula dengan Debo. Ia tidak
menyangka ada gadis lembut seperti Ify berhasil melukai seorang cowok hingga
berdarah. Tapi Debo tidak percaya dengan darah itu. Apa darah itu hanya dibuat-buat oleh Rio? Batinnya.
Sementara Rio,
cowok itu terlihat berusaha untuk menguasai diri. Pipinya yang tampak merah ia
pegang, sehingga darah yang keluar dari hidungnya menetesi tangannya. Cowok itu
juga diam. Cowok itu tidak berbicara sedikit pun. Mengeluh sakit pun tidak.
Dan... Sesuatu yang
tidak di duga mereka pun terjadi. Rio tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.
Alhasil, tubuh itu ambruk di atas paking blok lapangan yang panas. Darah yang
keluar dari hidungnya tidak kunjung berhenti.
“D.. Deb..” Lirih
Ify dicampur dengan segala kekagetannya sekaligus rasa takutnya.
Debo mendekati Rio.
“Cepat cari bantuan!” Ucapnya yang nyaris tidak di dengar oleh Ify.
***
Sedari tadi, Ify
berjalan mondar-mandir. Membuat siapapun yang melihatnya merasa pusing.
Termasuk Debo. Beberapa menit kemudian, datanglah Sivia dan Alvin. Sivia tampak
panik melihat kondisi Ify. Sementara Alvin yang nggak tau apa-apa mencoba untuk
menenangkan Sivia.
Kedua mata Debo
berbinar-binar melihat kedatangan Alvin yang sudah lama tidak ia lihat. Alvin
pun memilih duduk di samping Debo sambil menjelaskan dari A sampai Z mengenai
ia yang memutuskan pindah sekolah demi misinya lancar. Tentu saja Debo nggak
setuju Alvin pindah sekolah. Soalnya tim futsalnya kehilangan seorang pemain
yang hebat. Alvin hanya tertawa mendengar ucapan Debo yang baginya berlebihan.
“Fy, kak Rio nggak
papa? Kenapa kak Rio bisa di rumah sakit?” Tanya Sivia kebingungan.
Yang ditanya nggak
menjawab. Percuma saja Sivia bertanya pada Ify. Gadis itu sama sekali tidak mau
menggeraknya mulutnya. Sivia beralih menatap Debo yang sedang tertawa dengan
kekasihnya.
“Deb, lo tau kenapa
kak Rio bisa ada disini?” Tanya Sivia.
Untunglah Debo
tidak diam seperti Ify. Debo menceritakan awal kejadian yang tidak di duganya
itu. Mulai dari perang mulut antara Rio dan Ify lalu berakhir dengan tamparan
keras dari Ify mengenai pipi Rio.
Dari cerita Debo
yang diyakini Sivia adalah benar dan tak di buat-buat, ada yang ganjil disana.
Masa’ hanya karena sebuah tamparan Rio bisa dilarikan di rumah sakit?
“Gue juga heran
Vi.” Aku Debo.
Sivia mengangguk.
“Rio bisa saja membuat suatu keadaan yang mustahil menjadi nyata.” Ucapnya.
Debo mengerutkan
kening. “Gue nggak ngerti.”
Seorang dokter
keluar dari kamar rawat Rio. Dokter yang terlihat ramah itu melihat satu
persatu sahabat pasien yang sedang menunggu informasinya.
“Teman kalian hanya
pingsan saja. Mungkin besok teman kalian sadar.” Kata dokter itu.
Ify yang
mendengarnya tampak lega. Pasalnya, ia sangat khawatir bila ada hal buruk yang
terjadi dengan Rio. Jika seandainya memang terjadi, tentu Ify merasa bersalah.
Bisa-bisa ia dibawa ke pengadilan karena ulahnya.
“Fy, sebaiknya lo
pulang aja. Gue yang nunggu Rio sampai pagi.” Kata Debo yang suaranya terdengar
lembut di telinga Ify.
***
Dua hari kemudian...
Kondisi Shilla
tidak berubah. Shilla masih dalam keadaan yang tidak biasa. Sebisa mungkin Ayah
dan Ibunya mengembalikan kesadaran Shilla. Namun, usaha mereka selalu gagal.
Ingin sekali mereka menuntut Rio untuk mempertanggung jawabkan ulahnya. Tetapi
berhubung kondisi Rio yang sedang di rawat di rumah sakit, kedua orangtua
Shilla mengurungkan niatnya.
Pagi menjelang
siang ini, seorang cowok yang setiap harinya menemani Shilla kini datang sambil
membawa sebatang cokelat Silver Queen. Shilla tersenyum lebar melihat cowok
itu.
“Pagi kak Adrian!”
Sapa Shilla bahagia.
Cowok itu tersenyum
kecut. Entah mengapa Shilla bisa menganggapnya sebagai Adrian. Apa karena Shilla sangat tertekan sehingga
menganggap gue adalah Adrian? Shill.. Gue Gabriel, bukan Adrian...
“Ini gue bawain lo
cokelat.” Kata cowok itu yang ternyata adalah Gabriel.
Dengan ringannya
Shilla mengambil cokelat di tangan Gabriel. Shilla memang suka makan cokelat.
Baginya, cokelat dapat menceriakan harinya dan dapat menghapus kesedihan yang
dialaminya.
“Kak, anter Shilla
jalan-jalan ke Dufan yuk!” Ajak Shilla semangat.
Tentu Gabriel nggak
bisa menolak ajakan Shilla. Setelah meminta izin kedua orangtua Shilla,
akhirnya Gabriel dapat mengajak Shilla pergi ke Dufan asalkan Shilla dalam
keadaan aman saat pulang nanti. Gabriel mengangguk dengan nyawanya sebagai
jaminan.
Setelah sampai di
Dufan, wajah Shilla begitu ceria. Hal ini membuat Gabriel tak henti-hentinya
tersenyum. Gue nggak menyangka, cewek
yang selama ini gue cintai akhirnya merespon gue dengan baik. Dulu, banyak
cowok yang menyukai Shilla. Termasuk Debo dan Cakka. Dua cowok itu merupakan
saingan beratnya. Gabriel ingat, Cakka sempat mengancam Debo jika Debo berhasil
mendapatkan hati Shilla.
“Kak, Shilla mau
lihat lumba-lumba.” Pinta Shilla.
Untunglah saat ini
Dufan sedang sepi karena bukan hari libur. Keduanya pun berlari ria menuju
letak atraksi hewan yang menggemaskan itu. Gabriel teringat lima tahun yang
lalu saat ia sempat berenang dengan seekor lumba-lumba. Setelah menangis-nangis
karena nggak diijinkan oleh Ibunya.
“Shill..”
Gabriel merasa ada
yang tidak beres. Shilla diam di tempat dan tidak meresponnya. Kedua mata
Shilla terpusat pada arah sebuah bangku yang di duduki oleh seorang cowok. Siapa cowok itu? Kok tampangnya lesu begitu?
Batin Gabriel.
“Kak.. Kak
Adrian..” Lirih Shilla.
Bulu kuduk Gabriel
merinding ketika Shilla menyebut nama ‘Adrian’. Bukannya Adrian sudah meninggal? Mustahil kalo cowok itu Adrian!
“Shill, jadi nggak
lihat lumba-lumba?” Tanya Gabriel.
Lagi-lagi Shilla
tidak meresponnya. Kedua mata Shilla tetap terpusat pada cowok yang dianggapnya
sebagai Adrian.
“Kak Adrian..
Shilla.. Shilla..”
Dan... Shilla pun
pingsan untuk yang kedua kalinya.
***
Cowok itu menatap
nanar pemandangan di depannya. Dada cowok itu terasa sakit. Sakit sekali. Sama
dengan hatinya yang sedang terluka. Dilihatnya keadaan sekitar. Ada empat lima
orang yang berlalu melintasinya. Cowok itu tertawa. Menertawakan hidupnya yang
begitu miris ini.
Kenapa Tuhan tidak
adil padanya? Kenapa Tuhan memberinya takdir buruk yang dibenci orang-orang?
Kenapa Tuhan suka melihatnya menderita? Padahal, disana banyak manusia-manusia
jahat yang dengan sekenanya hidup berfoya-foya. Tanpa memikirkan akibatnya.
Andaikan hidup gue bahagia, layaknya hidup seperti
manusia-manusia yang bahagia. Punya seorang Ibu yang dengan tulus menyayangi
mereka, dan seorang Ayah yang menjaga mereka. Gue. Gue disini kesepian. Gue
dilahirkan untuk menderita. Gue dilahirkan oleh rahim seorang Ibu yang
penyakitan.
Sekali saja, ia
ingin melihat wajah Ibunya. Tapi sayangnya, Ibunya sudah tiada. Sementara Ayah,
ia sudah melihatnya. Walau sebentar, tapi ia sangat senang. Ternyata, Ayah
mencintainya secara tulus tanpa melihat kondisi fisiknya. Tapi itu sekarang,
bukan dulu. Yang ia butuhkan dulu, bukan sekarang.
Sebentar lagi gue akan pergi. Tapi, gue nggak mau pergi.
Gue nggak mau. Ada suatu hal yang menyuruh hati gue tetap tinggal disini. Yaitu
‘dia’. Seorang gadis yang sangat gue cinta. Seharusnya, gue bodoh mencintai
gadis itu. Sangat bodoh.
Tiba-tiba, ia
teringat dengan adiknya. Atau lebih tepatnya lagi adik tirinya. Maafkan gue Shilla... Maafkan gue karena
telah membuat lo menjadi seperti ini. Jujur, waktu itu gue nggak tega. Gue
harap, lo mau maafin gue.
Lalu, cowok itu
beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Ia tidak tau langkah selanjutnya yang
ia ambil. Apakah lebih baik ia kembali saja meski ia masih diberi waktu?
***
Hari ini hari kedua
Rio di rawat di rumah sakit. Walau dokter mengatakan kondisi Rio baik-baik
saja, tetapi Ify gelisah. Sampai detik ini, Rio belum juga sadar. Apa dokter
itu bohong? Mudah saja kan dokter itu berbohong agar hatinya tenang.
Ify telah sampai di
rumah sakit. Tapi, ia merasa ada yang lain. Ia melihat wajah Debo yang panik,
juga wajah Sivia dan Alvin. Dengan langkah lebar, Ify berlari menuju Debo cs
berada.
“Deb, Vi, Vin, ada
apa? Kenapa wajah kalian begitu panik? Apa yang terjadi dengan kak Rio?” Tanya
Ify bertubi-tubi.
Namun, diantara
ketiganya nggak ada yang mau menjawab. Ify mulai merasakan bau-bau tak enak.
Jangan-jangan... Kak Rio..
“Fy..” Akhirnya
Sivia bicara. “Kak Rio.. Kak Rio...”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar