Part 5
.
.
.
Sebuah berita yang
membuat hatinya kaget. Sebuah berita yang memaksanya mengeluarkan air mata
hingga kering. Ia tertunduk. Menyesali segala kebodohan yang ia perbuat.
Lantas, apa yang harus ia lakukan?
“Vi, kak Alvin
pindah sekolah ya?” Tanya Ify pelan.
Sivia nggak
menjawab. Ia malah memainkan pulpennya. Ify yang tau perasaan sahabatnya itu
menjadi pengertian. Tapi ada keselnya juga. Dulu, waktu Alvin ada disamping
Sivia, Sivia selalu tak menganggap sosok Alvin. Sekarang, ketika Alvin telah
pergi, Sivia malah menangisinya. Maksudnya apa sih?
“Fy.. Hiks..”
Penyesalan emang
datang belakangan. Tapi sungguh, ini hanyalah permainannya saja. Ia tak
membenci Alvin. Ia sangat mencintai Alvin. Hanya saja....
“Ide gue emang
gila.” Kata Sivia yang membuat Ify menaikkan sebelah alisnya.
“Ide apa?” Tanya
Ify.
Sivia menarik
nafas. “Ide. Ya. Sebenarnya gue cinta kak Alvin. Cinta banget. Waktu kak Alvin
nembak gue, gue senang banget. Tapi gue ingat. Kak Alvin itu playboy. Gue
mengira kak Alvin mempermainkan gue. Nah, akhirnya gue punya ide untuk
menyimpulkan apakah kak Alvin playboy ato enggak. Ide gue yaitu... Gue suka
cuekin dia. Dalam hati gue berharap kak Alvin bosen ama gue dan nyari cewek
lain. Tapi ternyata, dugaan gue salah.”
Ify mendengarkan
cerita Sivia dengan seksama. “Kak Alvin bukan playboy. Buktinya, dia cinta mati
ama gue. Gue perhatikan dia nggak pernah ngelirik cewek lain. Dan gue belum
sepenuhnya yakin. Gue biarkan diri gue cuek, nggak perhatian dan suka marah
sama kak Alvin. Namun... Kak Alvin lelah dengan sikap gue. Dan pada akhirnya
dia putusin gue dan pindah sekolah. Bahkan pindah ke luar negeri. Ini semua
salah gue Fy.. Hiks..”
Setelah puas dan
lega menceritakan, Sivia menangis sejadi-jadinya. Ia nggak nyangka. Semua
menjadi seperti ini. Hatinya sungguh terasa sakit kehilangan sesosok cinta
sejatinya.
“Sudahlah Vi, ini
semua bukan salah lo. Cara lo ato ide lo tadi bener kok.” Kata Ify menghibur
Sivia. Tapi percuma aja. Sivia tetap menangis.
Seorang cowok
datang mendekati keduanya. Siapa lagi kalo bukan Debo?
“Hallo girls! Wah,
gue jadi pengen nangis nih liat lo nangis Vi..” Kata Debo.
Ify menatap Debo
tajam. Sementara Debo cuma nyengir. Bagaimana nggak kesal? Sahabatnya sedang
terpuruk, Debo masih bisa bercanda?
“Fy, nggak nyari
murid baru itu?” Tanya Debo tiba-tiba. Ia juga nggak tau mengapa pertanyaan itu
yang keluar dari mulutnya.
Pipi Ify berubah
menjadi merah. Entah mengapa, ketika ia mengingat Rio, pipinya berubah menjadi
merah. Dan jantungnya berdetak tak karuan.
“Ng.. Ngapain juga
nyari kak Rio?” Tanya Ify.
“Hmmm.. Dia
misterius ya Fy. Fell gue menyatakan kalo gue pernah liat tuh cowok sebelumnya.
Tapi dimana? Gue juga nggak tau.”
Wajah Ify berubah
menjadi serius. “Serius lo Deb? Gue aja pernah liat kak Rio sebelumnya. Yang
waktu ada cowok nolongin gue pas gue kepeleset di tangga, dan..”
“Cowok yang
nyelametin lo itu bukan Rio! Dia kan bilang kalo dia bukan orang yang
nyelametin elo!”
Lho? Kok Debo
berubah jadi emosi gini ya?
“Nggak! Gue yakin
itu kak Rio. Wajahnya kembar! Mungkin kak Rio bohong ke gue!”
Debo jadi kesal.
“Lo kenapa sih Fy? Ngarep banget cowok yang nolongin lo itu Rio? Ada apa sih
sama lo? Lo naksir ya sama Rio?”
Deg! Jantungnya
serasa berhenti berdetak ketika mendengar Debo mengatakan sebuah kalimat yang
ia akui kebenarannya. Lo naksir ya sama
Rio? Apa benar ia suka sama murid baru yang ditakuti oleh murid-murid SMA
Varius? Debo pun nggak nyangka mulutnya ini dengan sekenanya mengeluarkan
sebuah kalimat yang begitu menyakitkan.
“Ng.. Fy.. Sorry..
Sorry..” Kata Debo gugup menyadari perubahan wajah Ify.
“Nggak papa kok. Lo
nggak ada salah.” Kata Ify
Kelas yang tadinya
ramai tiba-tiba saja berubah menjadi sunyi. Kedatangan seorang cowok yang
berwajah dingin seketika itu juga mampu mengubah suasana menjadi sepi. Sebagian
murid ada yang berdecak kagum dengan ketampanan cowok itu. Sementara yang lain
merasa takut. Bagi mereka, tatapan cowok itu sangat mengerikan.
“Fy, bukannya
itu..” Bisik Debo.
“Kak Rio..” Lirih
Ify.
Bagi Ify,
kedatangan Rio di kelasnya merupakan suatu kejutan. Hatinya sangat bahagia
melihat Rio datang mengunjungi kelasnya. Tidak dengan Debo. Yang cowok itu
rasakan adalah rasa penasaran dan kebencian serta ketidaksukaannya dengan sosok
murid baru bernama Rio.
Kedua mata Ify
sedaritadi tidak ia palingkan dari wajah Rio. Sungguh, kakak kelasnya itu
sangat manis. Tak ada secercah pun sinar yang membuat siapapun takut. Tapi,
mengapa semua orang takut jika melihat Rio? Apa yang salah dengan dirinya?
Argh! Sialnya! Rio
juga menatapnya tanpa ekspresi. Yang jelas, saat ini Rio menunjukkan
kecuekannya. Namun Ify merasa dibalik kecuekkan itu memiliki sebuah makna
penting yang ia sendiri tidak tau.
Tuhan.. Kenapa cowok itu masih terus liatin gue? Ada yang
salah ya sama gue? Batin Ify.
Tapi syukurlah. Rio
memalingkan wajahnya dan beralih menatap Debo yang juga menatapnya dengan
pandangan nano-nano(?). Banyak pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya.
Debo ingin sekali bicara. Namun mulutnya terasa kaku jika dibuka.
“Ketua kelas mana?”
Tanya Rio akhirnya.
Di ujung sana, sang
ketua kelas gemetaran. Cowok yang bernama Niall yang dipilih sebagai ketua
kelas itu pun maju ke depan. Setelah ia berhadapan dengan Rio, diam-diam Niall
memerhatikan wajah Rio. Terkesan dingin. Tiba-tiba, ia merasa ketakutan ketika
memandangi dua bola mata yang baginya mengerikan itu.
“Sa.. Saya ketua
kelasnya kak. Ada apa?” Tanya Niall memberanikan diri bertanya. Cowok yang
dikenal sebagai cowok pemberani itu takut seketika saat berhadapan dengan Rio.
Rio nggak menjawab.
Ia malah memberikan lembaran kertas yang daritadi ia pegang. Niall menerima
kertas itu. Astaga! Jangan-jangan kertas ini berisi hal-hal yang menakutkan
lagi! Murid-murid lainnya pun juga merasakan ketakutan yang sama.
“Ya udah. Saya
pamit dulu. Terimakasih.” Kata Rio lalu meninggalkan kelas X.3.
Setelah kepergian
Rio, kelas X.3 menjadi gaduh. Tentu saja mereka membicarakan kejadian barusan. Mereka
juga penasaran apa isi dibalik kertas yang tampaknya misterius.
“Woii Niall! Buka
kertas itu!!” Teriak Andre.
“Iya Niall!! Cepat
buka! Penasaran ini!” Tambah Burhan.
Niall menelan
ludah. “Oke-oke. Gue buka. Tapi setelah gue buka, tolong gotong gue ke UKS ya.
Ke rumah sakit pun tambah bagus.” Kata Niall ngaco.
Dan... Ketika Niall
membuka kertas itu.....
Apa yang terjadi? Apa tulisan dari kertas itu?
Huahahahaa!! Niall
tertawa ngakak. Murid-murid memandanginya dengan tatapan heran. Kok Niall
tertawa sih? Tuh cowok kenapa lagi?
“Lo kenapa sih?”
Tanya Olivia heran.
Niall berhenti
tertawa. “Mmm.. Kertas ini bukan apa-apa. Awalnya gue kira kertas ini bisa
bikin jantung gue mau copot. Tapi ternyata... Tulisan ini cuma tugas dari Pak
Angga untuk mengerjakan soal latihan halaman lima puluh enam bagian A saja.”
Jelas Niall.
Semua murid tampak
lega. Mereka mengira tulisan dari kertas itu berisi musibah yang dapat memakan
banyak korban(?). Niall pun menulis di papan tulis dan setelah menulis kembali
ke bangkunya.
“Gue heran.” Kata
Ify pelan. Namun didengar oleh Debo.
“Heran apanya?”
Tanya Debo.
Ify menghela nafas.
“Itu. Tentang kak Rio. Kenapa sih semua orang takut sama dia? Emang kak Rio
hantu apa? Deb, lo nggak takut kan sama kak Rio?”
Debo nggak langsung
menjawab pertanyaan Ify. Justru hatinya terasa panas ketika mendengar sebuah
nama cowok yang disebut Ify. Rio! Ada nggak nama lain yang lebih pantas disebut
ketimbang nama Rio?
“Entahlah. Waktu
gue perhatikan, dia emang seram. Ini menurut gue. Pandangannya ngeri banget dan
seperti ingin melahap orang. Tapi dibalik semua itu, tersimpan segudang
misteri. Dan gue juga udah nggak asing lagi dengan Rio.
“Lo pernah liat
wajahnya? Dimana?” Tanya Ify. Pasalnya dia juga pernah melihat Rio sebelumnya.
Tentu saja waktu ada cowok yang bantuin dia ketika ia terpeleset di tangga.
Tiba-tiba wajah
Debo memucat. Mengapa sih kalo ia berusaha mengingat, kejadian masa lalu itu
kembali hadir? Ada jangan-jangan masa lalu itu ada hubungannya dengan Rio? Apa
jangan-jangan....
“Mikirnya kelamaan!
Lebih baik lo kerjain soal aja. Sono pergi!” Usir Ify.
“Ya udah deh.” Kata
Debo lalu kembali ke bangkunya.
Setelah Debo
kembali ke asalnya(?), Ify kembali care pada Sivia yang terdiam. Gadis itu
menepuk-nepuk pundak sahabatnya seraya memberikan sebuah kekuatan.
“Gue yakin Vi, kalo
kak Alvin cinta mati ke lo, dia nggak bakal ninggalin lo secepat ini.” Hibur
Ify dan sukses membuat Sivia tersenyum.
“I hope so.” Kata
Sivia pelan.
***
“Mmm.. Hai!” Sapa
seorang cewek dengan suara sedikit kaku.
11-IPA1 saat ini
juga sedang tidak ada guru. Sebuah kebetulan. Kelas X.3 juga nggak ada guru.
Tapi bukan berarti kelas 11-IPA1 terbebas oleh pelajaran, tentu guru yang
berhalangan hadir memberi tugas agar anak muridnya nggak ribut. Untunglah.
Kelas 11-IPA1 anak-anaknya pada rajin. Tugas yang mereka terima dikerjakan
dengan baik.
Dea, salah satu
murid 11-IPA1 dengan beraninya menyapa Rio. Sungguh, gadis itu sangat
penasaran. Apa sih yang membuat semua orang takut dengan Rio? Karena itulah Dea
memberanikan diri untuk menyapa Rio.
Namun yang di sapa
nggak nyaut. Rio malah asyik dengan buku biologinya. Kalo diperhatikan
baik-baik, bisa dikatakan Rio seorang kutu buku yang kerjaannya hanya baca buku
baca dan baca. Di pakein kacamata tambah oke juga.
“Ha.. Hai Rio!”
Sapa Dea lagi. Berharap Rio balik menyapanya. Ibaratnya kalo gue mentionin Rio,
berharap banget di bales sama Rio *apaini?
Teman-temannya di
depan sana menatap Dea dengan was-was. Salah satu dari temannya berusaha
berkomunikasi dengan Dea melalui bahasa mata(?). Temannya itu kalo dilihat
seperti mengatakan “Dea, jangan diterusin deh. Ntar lo kenapa-napa lagi.” Namun
Dea cuek dengan temannya.
“Rio!” Kata Dea
sedikit membentak. Kesal juga sapaa kita dicuekkin sama orang. Dea sendiri
nggak nyangka ia bisa kasar dengan Rio. Tapi hal ini membuahkan hasil. Rio
beralih menatapnya dan Dea tersenyum senang.
Sebisa mungkin Dea
menenangkan diri agar tetap tenang. Matanya kini bertemu dengan mata Rio yang
indah. Oh, God! Manusia ato malaikat sih
cowok ini? Batin Dea. Namun tiba-tiba, pandangan Rio yang tadi ia rasa
sangat menyejukkan hatinya berubah menjadi pandangan ngeri dan mematikan. Dea
seperti merasa akan diterkam oleh hantu.
“KYAA!!” Teriak Dea
yang mengundang semuanya.
Sementara Rio
menatap Dea dengan tatapan aneh dan heran. “Gue bukan hantu yang harus lo
takutkan.” Ucapnya lalu kembali pada biologinya.
Dea bersama wajah
pucatnya akhirnya meninggalkan Rio. Jantungnya berdetakan tak karuan. Rasanya
seperti dikejar hantu. Rio! Lo kenapa sih? Kenapa gue setakut ini sama lo?
“De, lo nggak
papa?” Tanya Zeva, teman bangku Dea.
Dea menggelengkan
kepala.
“Makanya, jangan
sekali-kali lo ngobrol sama Rio. Cowok itu harus kita singkirkan dari tempat
ini.” Kata Zeva setengah emosi.
“Ah, jangan! Ntar
‘barang bagus’ kita hilang.” Kata Noura dan sukses mendapat jitakan dari Zeva.
“Lo ini, sukanya
sama cowok cakep aja!” Kata Zeva.
***
Sepulang sekolah,
Ify memilih untuk pulang sendiri. Awalnya ia diajak pulang sama Debo. Tapi
karena melihat Sivia yang saat itu kebetulan nggak ada yang anter dia pulang,
akhirnya Ify memaksa Debo mengantar Sivia pulang.
Hmmm.. Naik angkot
aja kali. Ify sudah sering pulang naik angkot kalo nggak ada yang jemput. Ify
pun menunggu kedatangan angkot di depan gerbang sekolah. Pada saat itu, suasana
sekolah sepi. Tapi ada dua tiga kakak kelas yang lagi berbincang-bincang.
Karena tertarik, diam-diam Ify menguping pembicaraan kakak kelas.
“Tau nggak, semakin
lama anak baru yang bernama Rio itu udah tersebar kalo dia itu manusia yang
bisa menakutkan siapa saja. Sekolah ini jadinya nggak tenang.”
“Iya. Anak baru itu
emang aneh. Tadi aja Dea berhasil ditakutkannya. Padahal hanya dengan tatapan
mata saja!”
“Entahlah. Gue cuma
ingin Rio nggak lagi menakuti seisi sekolah ini dan menjadi pangeran impian
baru gue.”
Temannya yang lain
ngakak. “Hahaha... Bisa aja lo..”
Mendengar
percakapan itu, Ify ikutan tertawa. Tentu Rio memiliki peluang besar untuk
menjadi Most Wanted Boy di sekolah ini. Yang ia herankan, ia sama sekali nggak
takut dengan Rio. Ah, sudahlah! Mungkin saja ia terlalu mengangumi sosok Rio
sehingga rasa takut itu kalah duluan.
Tiba-tiba,
pundaknya disentuh oleh seseorang dari belakang. Ify menjadi kaget. Ia
membalikkan badan. Memperhatikan sesosok lelaki yang tak asing lagi baginya.
Lho? Bukannya...
Bukannya...
“Heran ya?” Kata
cowok itu tertawa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar