Part 28
.
.
.
Dengan wajah yang
merah karena berusaha menahan amarah, secepat mungkin Shilla berlari. Gabriel
yang bingung hendak menyusul Shilla. Tetapi ia urungkan niatnya. Percuma aja
ngejar Shilla, pasti tuh cewek cuekin dia. Shilla kan lagi marah.
Shilla berhenti di
sebuah rumah sepi dan misterius. Orang mengira rumah itu adalah rumah para
hantu dan setan. Tapi, Shilla yakin sekali di rumah itu ada penghuninya.
Dulunya, itu rumah almarhum Ibu Cakka dan sekarang rumah
itu nggak terawat lagi. Shilla
ingat ucapan Agni mengenai rumah itu, dan ia yakin sekali Cakka ada di
dalamnya. Maafin gue Kka.. Lo harus
mendapatkannya...
Pelan-pelan, Shilla
mengambil pisau tajam yang ada di dalam laci sebuah lemari. Shilla yakin
sekali. Jika pisau itu ia tusuk ke dada orang, seketika juga orang itu akan
mati. Disamping mata pisau yang tajam, pisau itu mengandung racun bisa ular
yang mengerikan.
BRAAKK !!!
Seorang cowok
berpenampilan berantakan keluar mendatanginya. Cowok itu tertawa terbahak-bahak
melihatnya membawa pisau tajam. Sepertinya cowok itu sedang mabuk berat.
“Sedang apa kesini
gadis manis?” Tanya cowok itu yang tak lain adalah Cakka.
Shilla nggak menjawab.
Ia menatap Cakka dengan tajam. Pisaunya ia angkat tinggi-tinggi. Namun, Cakka
sama sekali nggak takut.
“Bunuh saja aku
Shilla.. Aku sangat mencintaimu.. Tapi karena kamu nggak cinta aku, bunuh saja
aku.. Hahaha..”
Sebisa mungkin
Shilla menahan air matanya agar nggak jatuh. Cakka, cowok yang telah membuat
kakaknya mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengenaskan. Walau Cakka nggak
punya niat membunuh Adrian melainkan ingin membunuh Debo, sama saja Cakka yang
membunuh Adrian.
“Gue benci lo Kka!
Lo yang membunuh kak Adrian!” Bentak Shilla.
“Adrian? Siapa dia?
Gue nggak ada urusan dengannya.” Jawab Cakka. Sepertinya cowok itu mulai sadar.
Pisau itu ia
dekatkan tepat di dada Cakka. Cakka yang mulai sadar mendadak kaget. Mengapa gadis itu mau membunuh gue? Tanyanya
dalam hati.
“Lo! Lo buat kak
Adrian menjadi seperti ini!”
Suatu hal yang
nggak di duganya pun terjadi. Shilla berhasil menancapkan pisau beracun itu
tepat di dada Cakka. Semula, Cakka bingung dan tidak mengerti. Selanjutnya, ia
merasakan nyeri yang luar biasa.
“Apa-apa’an ini?
Lo..”
Darah mengucur
deras dari dadanya. Cowok itu membelalakan matanya sebelum nyawanya pergi dari
tubuh itu. Shilla yang sedang tersenyum devil menatap cowok itu dengan tatapan
penuh kebencian.
“Ini akibat dari lo
yang sudah membunuh kakak gue.” Ucapnya.
Setelah ia yakini
Cakka sudah mati, Shilla mencabut pisau itu. Pisau yang beracun itu berwarna
merah. Shilla terdiam memandangi jasad Cakka yang mengerikan.
Apa yang sudah gue lakukan? Shilla! Lo pembunuh! Cakka
tidak salah Shilla.. Adrian sendiri yang nekat menyelamatkan Debo...
Shilla menjatuhkan
pisaunya, lalu ia bersimpuh di samping jasad Cakka. Gadis itu menangis lirih. Apa yang sudah gue lakukan? Gue sudah
membunuh orang... Perlahan, Shilla meraih tangan Cakka. Ia periksa denyut
nadi di tangan Cakka. Tapi, denyut nadi itu nggak ada. Shilla menertawai
kebodohannya.
Gue akan menunggu sampai polisi datang yang akan
menjebloskan gue ke penjara...
***
Rio tersenyum sedih
melihat kedatangan Alvin yang terlihat pucat. Ia benar-benar kaget dengan
pemintaan Alvin barusan. Jika boleh, lo
dan gue bertukar posisi. Gue yang jadi lo dan akan kembali ke alam sana, dan lo
yang jadi gue.. Tentu saja itu sangat mustahil.
“Nggak bisa Vin..”
Kata Rio.
“Pasti bisa!” Jawab
Alvin yakin. “Gue ikhlas jadi elo yang sebentar lagi akan meninggalkan dunia
ini. Dan gue yakin sekali Sivia mendukung niat gue walau banyak menghabiskan
air mata.” Lanjutnya.
Tiba-tiba, Rio
menatap Alvin dengan tatapannya yang mengerikan. Alvin dibuat ngeri oleh
tatapan pucat yang terlihat seperti hantu beneran.
“Sebaiknya lo
pergi! Permintaan lo sangat mustahil! Gue hitung sampai lima. Kalo lo nggak
pergi, gue akan membunuh pacar tercinta lo!” Bentak Rio diluar kendalinya.
Wajah Alvin semakin
pucat. Memang benar. Permintaannya sangat mustahil. Dengan hati yang teramat
berat, Alvin pergi meninggalkan Rio. Ia nggak mau sesuatu yang buruk terjadi
dengan Sivia karena sebuah kesalahan kecil.
Maafkan gue Via.. Gue nggak bisa melakukan apapun...
***
“Lo liat Fy matahari yang akan tenggelam disana?” Tanya
Rio menunjuk ke arah barat.
Ify menoleh ke arah barat dimana matahari hendak
terbenam. “Lihat kak. Memangnya ada apa?” Tanyanya.
“Saat itulah lo nggak akan bisa lagi melihat gue.”
Masih terekam jelas
percakapannya dengan Rio di dalam mimpi buruknya. Sore yang nampak mendung ini,
Ify duduk di bangku taman dengan kesendirian. Tidak ada Rio di sampingnya.
“Kak Rio.. Kakak
ada dimana? Ify kangen sama kakak..” Ucapnya.
“Lo kangen gue ya
Fy?”
Suara Rio terdengar
lembut di telinganya. Ify menoleh menatap kekasihnya yang sedang tersenyum
kepadanya. Rio pun duduk di samping Ify. Tak lupa pula ia merangkul gadis itu.
“Maaf Fy karena Rio
telat datang kesini..” Kata Rio.
Ify tersenyum.
“Nggak papa kak. Ohya, kak Rio mau kan temani Ify melihat fenomena tenggelamnya
matahari? Lihat!” Ify menunjuk ke arah barat. Tempat dimana matahari
bersembunyi untu sementara waktu. “Sebentar lagi, matahari akan tenggelam.”
Sambungnya.
Sebentar lagi, matahari akan tenggelam.. Batin Rio sedih. Tuhan,
apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin membuatnya menangis, karena aku
cinta dia Tuhan, aku sayang dia Tuhan...
“Fy..”
Ify menoleh ke arah
Rio.
“Ada sebuah rahasia
yang harus gue ceritakan. Sebelumnya, lo ambil dulu surat ini. Ntar malem, baru
lo boleh baca.” Kata Rio seraya memberikan Ify surat itu.
“Rahasia apa kak?”
Tanya Ify mulai tidak enak.
Sebelum menjawab,
Rio menarik nafas dalam-dalam. Jujur, ia nggak sanggup menceritakan pada Ify.
Tapi, sebelum semuanya terlambat dan ia nggak akan bisa lagi melihat wajah cantik
itu, ia harus mengatakannya.
“Bahwa Rio
sebenarnya adalah Adrian..” Jawab Rio nyaris tak di dengar.
Deg! Kak Rio bercanda kan? Batin Ify nggak
percaya. Ify menatap wajah pucat Rio. Ia berusaha mencari kebohongan disana.
Tapi, hanya kebenaranlah yang ia temukan.
“Fy, maafkan aku.
Maafkan aku. Seharusnya kamu tidak mengenal aku. Ku mohon Fy, maafkan semua
kesalahan ku yang telah membuatmu menderita seperti ini. Aku..”
“Kak..” Ify
memotong pembicaraan Rio. “Kakak janji untuk tidak meninggalkan Ify.” Sambungnya.
Rio tersenyum
pahit. “Sayangnya, aku nggak bisa menepati janjiku, dan sebentar lagi Adrian
akan meninggalkanmu. Sejatinya, Adrian sudah mati. Hanya saja Adrian ngotot
ingin balik ke dunia. Maafkan Adrian, Fy.. Adrian mencintaimu..”
Sebentar lagi, matahari
akan tenggelam. Ify teringat dengan mimpinya. Ternyata.. Mimpi itu nyata... Ify ingin menangis. Tapi entah
mengapa, air matanya nggak bisa keluar. Apa karena air matanya terlalu sering
keluar makanya ia nggak bisa menangis lagi?
“Fy, se.. selamat
tinggal..” Lirih Rio. Ia menatap nanar matahari yang sebentar lagi akan
tenggelam.
Lalu, dipeluknya
dengan erat tubuh kekasihnya itu. Ify memejamkan mata. Rasanya seperti mimpi
buruk kemarin. Apakah setelah ini pelukan Rio berubah menjadi abstrak seperti
dalam mimpinya?
“Fy, berjanjilah
padaku. Kalau aku sudah nggak ada lagi, kamu jangan menangis. Karena aku benci
melihatmu menangis. Maafkan aku sayang.. Maafkan aku.. Aku harus meninggalkanmu
karena malaikat telah menjemputku dengan keretanya. Maafkan aku..”
Suasanya mulai
gelap. Bulan sabit terlihat di langit magrib yang pucat. Rio melepaskan
pelukannya itu. Dari atas sana, sebuah suara memanggilnya. Rio paham arti dari
panggilan itu. Bahwa secepatnya ia harus kembali pada pangkuan-Nya.
“Sekali lagi,
maafkan aku. Sampaikan segala perminta maafanku ke semuanya. Terutama Sivia.
Makasih Fy karena udah mau mencintai Rio setulus hati. Ify jangan khawatir, Rio
selalu menjaga dan memerhatikan Ify dari atas sana.”
Untuk yang terakhir
kalinya, Rio menatap wajah cantik itu. Rio heran. Mengapa Ify tidak menangis?
Mengapa gadis itu beranggapan bahwa kejadian ini merupakan sebuah kejadian yang
biasa? Sebelum pergi menyusul matahari yang sudah duluan menghilang, Rio
mencium kening Ify. Berharap kekasihnya itu selalu bahagia, sesuai dengan
harapan gadis itu sendiri.
Perlahan, Rio
mundur menjauhi Ify yang sedang menatapnya. Semakin lama, ia semakin mundur dan
tubuhnya di makan oleh kegelapan malam. Ify sadar. Sekarang, ia sendiri. Tidak
ada siapapun yang menemaninya.
“Kak Rio..”
Lirihnya. “Jangan tinggalkan Ify..”
Dan.. Ify pun
menangis. Menangis sejadi-jadinya. Berharap kekasihnya datang tuk sekedar
mengobati kesedihannya. Tapi itu mustahil. Rio sudah pergi dan ia kehilangan.
Sangat kehilangan.
“Kak Rio..”
***
Tiga hari kemudian....
Matanya menatap
nanar kuburan sang kekasih yang sangat dicintainya itu. Tiga hari sudah
kekasihnya itu meninggalkannya. Sebisa mungkin ia mengikhlaskan hatinya untuk
menerima kenyataan bahwa kekasihnya telah pergi selama-lamanya dan nggak akan
pernah kembali.
Di belakangnya, ada
Sivia, Alvin, Debo dan Gabriel. Shilla? Setelah kejadian pembunuhan itu, polisi
menangkapnya dan hakim memutuskan untuk menghukumnya selama tiga tahun penjara.
Tentu saja Shilla menerimanya. Ia memang pantas dimasukkan di penjara karena
kesalahannya.
“Fy, balik yuk.”
Kata Sivia berusaha menahan tangisnya. Tangannya digenggam erat oleh tangan
Alvin.
“Nggak. Biarkan gue
sendiri disini. Kalian pergi aja.” Kata Ify.
Tentu saja Sivia
dan lainnya nggak bisa membiarkan Ify berada sendirian di tempat ini. Ntar kalo
terjadi apa-apa dengan Ify bagaimana? Sivia nggak mau sahabatnya diapa-apakan
oleh orang lain.
“Kita balik!” Kata
Ify tiba-tiba.
Gadis itu
membalikkan badannya. Ia menatap satu persatu wajah sahabatnya. Ada Sivia,
Alvin, Debo dan Gabriel. Mungkin..
Mungkin ini terakhir kalinya aku liat kalian.. Batinnya.
***
Surat yang Rio
berikan kepadanya tiga hari yang lalu sudah ia baca. Ify tersenyum sedih. Surat
itu mampu membuat air matanya terus mengalir, sampai saat ini. Kak Rio.. Ify juga mencintai kakak.. Karena
itulah, Ify akan menyusul kakak...
Di tangannya kini,
ada sebuah pisau tajam. Ify siap dengan segala resiko yang ditanggungnya. Pisau
tajam itu kini berada tepat di pergelangan tangannya. Sebelum ia melakukan
sesuatu yang sangat dibenci Tuhan, Ify memejamkan mata. Berusaha mengingat
kembali momen-momen indah bersama sang kekasih, yaitu Rivano Gabriel atau
Adrian.
Maafkan Ify.. Maafkan Ify...
Dan... Darah segar
itu keluar dari pergelangan tangannya. Pisau tajam itu memutus urat yang
melindungi darah(?) hingga darah itu keluar dan nggak bisa dihentikan. Ify
tersenyum parau. Berusaha menahan kesakitan yang ia rasakan.
Di belakangnya,
Sivia yang baru datang heran melihat sahabatnya yang sedang memegang pisau yang
penuh dengan darah. Pisau? Darah?
“ASTAGA !! IFYY !!”
Teriaknya ketakutan.
Namun sayang, tubuh
itu terjatuh bersimbuh darah segar. Wajah cantik itu terlihat pucat pasi. Sivia
bersimpuh di samping Ify sambil menangis menggenggam tangan Ify.
“Fy.. Hiks.. Hiks..
Jangan mati.. Jangan..”
Terakhir yang ia
lihat, sebuah senyuman bahagia menghiasi wajah Ify. Sivia akui. Ify sangat
bahagia dengan pilihannya. Yaitu mati menyusul sang kekasih. Secara perlahan,
Sivia mencium kening sahabatnya itu, seraya berkata dalam hati. Bahagia disana Fy, bahagialah bersama kak
Rio dan jangan lupakan kami yang tulus menyayangimu...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar