expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 21 Mei 2015

5 Seconds of Summer ( Part 1 )



Part 1

.

            Tak terasa pesawat yang mereka tumpangi akhirnya mendarat di bandara. Para penumpang mulai turun dari pesawat. Luke yang terbangun dari tidurnya karena dibangunkan oleh adik semata wayangnya langsung bangkit dan mengikuti Ibunya. Dari belakang, Luke menatap sedih punggung Ibunya. Sementara di sampingnya, adiknya yang bernama Luce terus saja mengeratkan tangannya di lengannya. Adiknya jauh lebih lemah dibanding Ibunya.

            Ketiganya pun berjalan menuju pengambilan barang-barang dan mereka harus bersabar menunggu kedatangan koper mereka. Alat yang menggerakkan koper itu berjalan dan Luke menatapnya dengan kosong sampai tidak sadar Ibunya menyuruhnya mengambil dua buah koper yang berukuran besar, dan satu buah kardus yang berisi barang-barang mereka yang masih boleh digunakan, sedangkan barang-barang penting yang berhubungan dengan sekolah dan pekerjaan tidak mereka simpan di bagasi.

            Luke menggeret koper yang berwarna hitam dan membawa kardus yang cukup berat itu sementara Ibunya menggeret koper yang lain. Barang-barang itulah yang merupakan sisa barang-barang dari sejuta barang-barang berharga yang sudah disita oleh pihak polisi. Jika di ingat kejadian kemarin, sungguh teramat sedih. Bahkan Luke ingin sekali amnesia untuk melupakan kejadian kemarin.

            Ayahnya, seorang lelaki yang selama ini dibanggakannya dituduh korupsi dan entah bagaimana ceritanya Ayahnya mati mengenaskan di sebuah rumah sepi yang jauh dari Kota. Tentu saja hal itu membuat seisi rumah kaget. Luke yang baru pulang sekolah dikagetkan oleh berita yang bagaikan mimpi buruk itu.

            Ayahnya sudah tiada dan kini ia tidak akan lagi tinggal bersama Ayahnya dan ia satu-satunya laki-laki yang ada di keluarga itu. Lantas, bagaimana kelanjutan hidupnya? Kata orang, hidupnya begitu sempurna. Sudah kaya, disenangi teman, disenangi guru, Most Wanted Boy di sekolahnya, dan sekarang? Mungkin gelar-gelar itu sudah tak berlaku lagi baginya. Ia bukanlah Luke yang dulu. Luke yang dulu sudah tidak ada.

            Kini, beban keluarga ditanggung oleh Ibunya. Bagaimana mungkin Luke bisa bekerja mencari uang sedangkan ia masih duduk di bangku SMA dan adiknya yang masih duduk di bangku SMP? Ibunya adalah seorang guru matematika dan sangat baik terhadap murid-muridnya. Karena itulah Ibunya dinobatkan menjadi guru terbaik. Matematika yang kata orang adalah pelajaran yang bisa bikin kepala pusing kini berubah menjadi pelajaran yang paling banyak minatnya. Mungkin Ibunya bisa diterima kerja di salah satu sekolah yang ada di Perth.

            Perth.. Tidak jauh beda kan dari Sydney? Sydney cukup menyisahkan kenangan-kenangan buruk yang bagaimamapun juga harus ia lupakan. Rasa kebencian yang ia rasakan juga masih terasa. Ia benci dengan sahabat-sahabatnya. Dan ia benci dengan pacarnya, lebih tepatnya lagi mantannya yang ternyata tidak benar-benar mencintainya dan memilih orang lain yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Menyakitkan bukan?

            Mungkin Tuhan sedang mengirimkannya sebuah ujian berat. Mungkin Tuhan sedang mengetesnya apakah ia bisa lolos dari semua ini. Luke berujar bahwa ia harus bisa lulus dari ujian ini walau rasanya susah. Hidup kaya dan terkadang suka membuang-buang uang menyulitkannya untuk menjalani hidup sederhana yang harus menghargai sedikitpun uang. Tapi sekali lagi ia harus bisa lulus dari semua ujian ini.

            Taksi yang membawanya menuju rumah barunya terasa begitu panas saat ia tumpangi walau taksi itu full AC. Ibunya sudah mulai bisa tersenyum dan ceria walau masih ada luka disana. Sementara Luce, adiknya itu belum berubah. Masih tetap diam dan menahan air mata. Sebagai kakak yang baik, ia harus bisa menguatkan adiknya. Apalagi adiknya sedang jatuh di jurang yang paling dalam. Ia harus bisa meghibur adiknya agar bisa kembali ceria meski ia juga membutuhkan hiburan.

            Pemandangan di luar jendela tampak begitu tentram dan damai. Bangunan-bangunan megah berdiri menjulang. Ada beberapa pohon yang sengaja di tanam di sekitar jalan agar terlihat lebih asri. Kota yang indah. Mungkin Kota yang lebih baik dibandingkan dengan Kota kelahirannya. Untuk menghibur dirinya, Luke menyel lagu melalui headsetnya. Alunan lagu yang lembut membuat suasana hatinya menjadi damai. Apalagi di tambah dengan instrumen gitar yang membuat suasana hatinya menjadi lebih baik.

            Tidak terasa taksi itu berhenti di sebuah rumah sederhana. Sepertinya rumah itu tengah menanti kedatangannya. Luke turun dari taksi itu dan membiarkan supir taksi itu mengeluarkan barang-barangnya. Setelah semuanya selesai, ketiganya pun masuk ke dalam rumah itu. Rumah itu adalah rumah sederhana yang dibeli oleh nenek dari pihak Ibunya. Tentu saja saudara-saudara dari pihak Ibunya merasa simpati dengan kondisi yang menimpanya. Kebanyakan saudara-saudara Ibunya tinggal di Perth. Karena itulah Ibunya memutuskan untuk pindah ke Perth.

            Welcome home! Mama harap kalian berdua betah tinggal disini.” Ucap Ibunya.

            Itulah ucapan Ibunya yang pertama kali semenjak menginjakkan kaki di Kota Perth. Luke mengangguk-angguk sambil memaksakan senyum. Sebuah lesung pipit muncul di pipi kanannya. Itulah salah satu hal yang membuat Luke tampak istimewa dan banyak digandrungi oleh para gadis. Kay. Gadis bodoh yang telah menyia-nyiakan cinta Luke. Ya, dia benar-benar gadis yang bodoh. Bahkan sangat bodoh.

            Satu yang Luke inginkan. Ia ingin sekali tidur karena matanya terasa berat sekali. Apalagi ini sudah sangat larut. Tadi pesawat yang ia tumpangi di delay hingga tiga jam. Seharusnya ia sudah tiba di Perth pukul delapan malam, namun ternyata mereka tiba di Perth pukul sebelas malam. Setelah melihat dekorasi kamarnya yang tidak buruk-buruk amat, langsung saja Luke menjatuhkan tubuhnya di atas kasur itu dan tidak peduli apa kasur itu keras atau tidak. Rasa kantuknya sudah tidak bisa ia tahan.

            “Biarkan kakak-mu istirahat.” Lirih Ibunya pada Luce yang berada di sampingnya.

***

            Jam berapakah sekarang? Luke terbangun dan merasa tubuhnya cukup segar dan sedikit bersemangat. Luke melihat jam di ponselnya tetapi ia rasa jam di ponselnya tidak tepat karena timezone di Sydney berbeda dua jam dari timezone yang ada di Perth. Setelah mengumpulkan seluruh tenaganya, Luke berjalan keluar dan melihat di meja makan sudah ada menu sarapan sederhana diantaranya adalah omelet kesukaannya.

            Morning sayang. Gimana tidurmu?” Sapa Ibunya.

            Luke tersenyum. “Baik. Mama sendiri?” Jawab dan tanya Luke.

            “Baik. Mama sudah lebih baik dari kemarin.” Jawab Ibunya.

            Ya. Inilah kehidupan barunya yang sangat berbeda dari kehidupan lamanya. Luke sengaja melirik ke arah adiknya yang tengah memakan roti berselai stroberi. Luce begitu kalem dan tidak banyak bertindak. Di sekolah, Luce adalah anak yang cukup pendiam dan tidak banyak omong. Namun otaknya begitu cerdas dan pandai memainkan alat musik terutama gitar.

            “Ma, bolehkan Luce membeli gitar? Yang murah saja Ma.” Ucap Luce di sela-sela makannya.

            Luke sudah menduganya hal itu akan terjadi. Adiknya itu tidak bisa hidup tanpa gitar dan sehari-harinya Luce sering memainkan gitar dan menciptakan lagu. Adiknya sangat berbakat di bidang itu. Sementara ia, mungkin hal-hal seperti itu tidak perlu di ingat-ingat lagi. Ini adalah hidup barunya, bukan hidup lamanya.

            “Boleh. Mama mempunyai sedikit uang. Nanti sore kamu bisa beli bersama kakakmu.” Ucap Ibunya.

            Ucapan Ibunya mampu membuat hatinya perih. Mama mempunyai sedikit uang. Kalau begitu, kenapa Ibunya mau membelikan Luce gitar sedangkan kondisi uang mereka sedang tidak baik? Luke tidak bisa menebak jalan pikiran Ibunya. Apa Ibunya sebegitu sayangnya pada Luce sehingga mau memberikan apa saja yang Luce inginkan meski kondisinya tidak memungkingkan?

            “Kamu sendiri mau tidak?” Tanya Ibunya.

            Tentu saja pertanyaan itu ditujukan padanya dan alangkah bodohnya jika ia menjawab ‘ya’. Luke menggeleng-gelengkan kepala pertanda menolak. Hal itu membuat Ibunya heran karena Luke dan Luce sama-sama menyukai musik dan sangat pandai dalam hal musik terutama gitar.

            Kini tinggal menunggu sore hari dan Luce begitu tidak sabar. Ya. Walau hidup gadis itu berubah total, tetapi selagi ia masih bisa bermain gitar, semuanya akan baik-baik saja. Ya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar