Part 5
.
Sudah sebulan Disty tinggal di
London dan segalanya telah berubah. Disty sudah seperti gadis British lainnya.
Penampilannya juga mulai girly. Disty memutuskan untuk memanjangkan rambutnya
tapi tidak terlalu panjang dan mencoba memakai rok. Pasti teman-teman Disty di
Indonesia pada heran dengan perubahan Disty.
Di sekolah, Disty sudah termasuk
murid yang pintar. Tapi Disty lemah di pelajaran matematika. Disty memang
sangat membenci pelajaran itu. Otaknya lebih ke seni. Disty juga mencoba mempelajari
bahasa Prancis karena ia menyukai semua yang berhubungan dengan Paris dan ingin
berlibur kesana.
Mengenai Rio, Disty masih mengingat
pertemuan mata mereka secara tidak sengaja. Apa Rio masih mengingatnya?
Sepertinya tidak deh. Baginya Rio itu sempurna deh. Disty baru sadar
teman-temannya suka membicarakan tentang Rio. Apalagi berita Rio yang sudah
putus dengan Cara dan membicarakan tentang Cara karena mereka rasa Cara itu
bodoh minta putus sama Rio, eh tapi harusnya senang kan karena sekarang Rio
jomblo?
Disty selalu tersenyum mengingat itu
semua. Kemudian gadis itu mengambil gitarnya lalu memainkan sebuah lagu.
“Your
beautiful eyes stare right into my eyes
And
sometimes I think of you at late night
I
don’t know why
I
want to be somewhere where you are
I
want to be where
You’re
here
Your
eyes are looking into mine so baby, make me fly
My
heart has never felt this way before
I’m
looking through your I’m looking through your eyes..”
Tiba-tiba Disty memberhentikan
permainannya tatkala melihat sebuah bingkai fotonya dengan Lintar. Disty
bangkit dari duduknya dan mengambil foto itu. Jujur, ia kesal dengan Lintar.
Cowok itu seakan-akan sudah melupakannya. Kalau begitu, untuk apa Lintar berjanji
padanya? Ingin sekali Disty membuang bingkai itu tapi ia tidak tega. Gadis itu
memutuskan menyimpan bingkai itu di gudang. Kalaupun bisa hilang ya tidak
apa-apa. Intinya ia harus bisa melupakan Lintar dan rasanya berhasil saat ia
mengenali sosok Rio. Ya. Rio.
***
“Hai Dis!” Sapa Donna ceria. Gadis
itu tampak cantik hari ini.
“Hai juga.” Sapa Disty datar.
“Sejak kapan kau menyembunyikan
semua itu?” Tanya Miley tiba-tiba.
Lho? Mengapa Miley menanyakan
pertanyaan seperti itu? Memangnya menyembunyikan apa? Sebentar lagi pelajaran
akan dimulai. Kira-kira sepuluh menit lagi. Disty yang masih sibuk menyalin
catatan bahasa Inggris menghentikan pekerjaannya.
“Menyembunyikan apa?” Tanya Disty.
Miley tersenyum. “Ternyata kau sama
seperti kakakmu. Kalian pecinta musik. Michael cerita kalau kau mempunyai suara
yang bagus dan jago bermain gitar. Kalau boleh ajarin aku main gitar dong. Biar
kelihatan keren gitu.” Ucapnya.
“Duh kirain apaan. Iya. Sudah lama
aku mencintai musik. Musik adalah hidupku dan rasanya aneh kalau sehari saja
tidak bermain gitar.” Ucap Disty.
“Berarti peluangmu untuk mendapatkan
Rio besar!” Seru Donna.
Dua sahabatnya itu ternyata juga
merupakan penggemar Rio dan diam-diam mencari kesempatan untuk mengintip Rio.
Entah pada saat jam olahraga atau di kantin. Donna juga banyak menyimpan foto
Rio yang sudah ia tunjukkan ke Disty dan Disty semakin kagum dengan Rio. Kapan
ia bisa berbicara langsung dengan Rio? Tapi Disty merasa ada yang aneh dari
Rio. Disty ingat betul tatapan Rio dan sudah merasa tidak asing lagi.
“Benar apa yang dikatakan Donna,
Dis. Rio suka musik. Kau juga suka musik. Kalian pasti nyambung. Beda deh
hubunganmu dengan Lintar. Lintar tidak suka musik sementara kau suka musik jadi
kalian tidak nyambung.” Ucap Miley.
Disty tersenyum. “Justru perbedaan
itu yang membuat indahnya hubungan ini. Ah sudah. Aku sudah lama melupakan
Lintar.” Ucapnya lalu melanjutkan kegiatannya kemudian seorang guru masuk ke
kelas mereka dan memulai pelajaran.
***
Pulang sekolah, Disty kaget melihat
sosok Luke yang lagi duduk di teras. Disty memang terlambat pulang hari ini.
Gadis itu pun cepat-cepat masuk ke dalam rumah dan menghampiri Luke.
“Hei sedang apa disini anak yang
membosankan?” Ucap Disty. Itulah nama panggilannya untuk Luke. ‘Anak yang
membosankan.’
“Bisa tidak kau berhenti memanggilku
dengan sebutan ‘anak yang membosankan’?” Ucap Luke.
Disty tertawa. Diam-diam ia jadi
suka menjahili Luke dan suka sekali melihat wajah Luke yang kesal. Menurutnya,
penampilan Luke itu jadul sekali. Gaya rambutnya tidak bagus sekali. Apalagi
poninya yang sepertinya dicuekkan oleh Luke. Juga pakaian yang dikenakan Luke
sederhana sekali. Entah kenapa Disty jadi penasaran dengan latar belakang
kehidupan Luke.
“Aku sedang menunggu Michael. Dia
sedang tidak ada di rumah.” Ucap Luke.
“Penampilanmu jadul sekali. Makanya
tidak ada satupun gadis yang mau dekat denganmu. Sebenarnya kau itu manis lho
hanya saja kau tidak sadar dengan apa yang kau miliki.” Ucap Disty.
Mendengar ucapan Disty, Luke langsung
menatap gadis itu dengan tajam. “Aku tidak mau dinilai dari penampilan. Aku
benci hal itu. Banyak sekali gadis-gadis yang menilai cowok karena
penampilannya dan bukan karena hatinya dan kebaikan cowok itu.” Ucapnya.
“Itu saja ucapanmu sejak dulu. Aku
bosan. Justru penampilan nomor satu. Dulu, cinta pertamaku itu ganteng sekali.
Dia atlet basket SMP ku dulu. Wajahnya sempurna banget dan aku suka sekali
melihat dagunya.” Ucap Disty sambil membayangkan sosok Lintar. “Tapi mungkin
dia harus aku lupakan dan aku berhasil move on karena aku seperti mulai
tertarik dengan seseorang. Rasa kagumku dengan orang itu besar sekali. Tapi aku
tidak berani berkenalan dengannya.” Sambungnya.
Luke tidak menanggapi ucapan Disty.
Cowok itu malah menunduk dan entah apa yang dipikirkannya. Disty mencoba
mencari tau apa yang membuat hidup Luke seperti itu. Pasti ada sesuatu. Kenapa
di London ini penuh dengan misteri?
“Coba ceritakan kisah hidupmu. Kalau
kau mau sambil menunggu Michael.” Ucap Disty.
Dan entah apa yang membuat si cowok
pendiam itu mau menceritakan kisahnya. “Keluargaku sederhana. Tidak seperti
keluargamu. Aku mempunyai dua kakak laki-laki. Mereka sudah kuliah dan kakak
pertamaku sudah kerja. Ibuku adalah seorang guru matematika dan Ayahku itu
membuka usaha kue dan cukup terkenal di London. Karena itulah aku suka
mengantar pesanan kue terutama keluargamu. Mereka menyukai kue buatan Ayahku.
Ibuku juga pandai membuat kue.
Sejak kecil aku sudah diajarkan
untuk bersikap dewasa dan mandiri. Ibuku suka mengajariku dan dia menargetkan
nilaiku harus bagus. Tentu saja aku tidak mau mengecewakannya dan aku suka
sekali belajar. Aku memang berbeda dengan lainnya. Aku terlalu primitif, tidak
suka pacaran, tidak suka berkumpul dengan teman-teman lain kecuali belajar,
tapi aku menyukai pilihanku. Di kelas, hanya Michael saja yang mau menganggap
aku temannya dan yang lainnya hanya memanfaatkanku saja. Misalnya kalau ada
tugas mereka pasti menyontek padaku.
Setiap manusia itu berbeda-beda dan
mereka tidak bisa dipaksakan. Misalnya aku disuruh bermain bola dan bertanding,
tentu saja aku menolak. Aku lebih suka belajar. Coba deh kalau kau disuruh
belajar tanpa memikirkan hal lain, pasti kau tidak mau juga kan?”
Kata demi kata Luke ucapkan dengan
pelan-pelan. Disty mengangguk-angguk. Luke memang berbeda. Tidak seharusnya ia
menganggap Luke itu aneh. Luke memang begitu. Ia saja yang belum mengetahui
jenis-jenis manusia di muka bumi ini.
“Tapi Luk, aku heran deh kalau ada
orang yang membenci musik.” Ucap Disty.
“Aku tidak bilang kalau aku membenci
musik. Setiap orang pasti membutuhkan lagu untuk di dengar.” Ucap Luke.
“Siapa bilang kau membenci musik?”
Goda Disty sambil tertawa.
Kemudian Michael datang dan
tersenyum melihat Disty yang sepertinya sudah akrab dengan Luke. Michael
berharap mereka akan terus seperti itu dan Luke mau membuka hatinya untuk
seseorang. Ya. Selama ini Michael tidak pernah melihat Luke dekat dengan
seorang gadis. Tapi Michael yakin Luke adalah cowok yang normal.
“Mike, adik kesayanganmu
keterlaluan. Kau ajarkan saja biar tidak usah jahil dengan orang lain.” Ucap
Luke.
Michael tertawa. “Aku sudah bilang
kalau kau bertemu dengan Disty dia tidak bisa berhenti bicara.” Ucapnya lalu
lengannya di pukul oleh Disty dan gadis itu ikutan tertawa.
***
Kelas musik. Ini adalah kelas
favoritnya. Disty bisa puas bermain alat musik disini. Tapi Disty lebih
memanfaatkan piano karena di rumahnya tidak ada piano. Kata Donna, ia juga
pandai bermain piano. Tapi Disty merasa dirinya tidak jago bermain piano.
“Kau menyanyikan lagu My Heart Will
Go On dengan sempurna. Aku sampai nangis.” Ucap Miley.
Baru saja kelas musik selesai tetapi
tiga gadis itu masih ada di kelas. Donna dan Miley ingin melihat Disty bermain
piano. Dan Miley memaksa Disty untuk mengajarinya bermain gitar. Namun Miley
sudah nyerah duluan. Jari-jarinya selalu sakit jika menyentuh senar-senar itu.
Kata Donna, Miley memang payah dalam hal musik.
“Aku heran deh Dis. Cewek yang jago
main gitar itu langka tau apalagi seperti dirimu.” Ucap Miley.
“Yang benar saja. Banyak sekali
gadis-gadis british yang jago memainkan alat musik. Tidak hanya gitar saja. Aku
ingin sekali bermain biola. Tapi Mi, kau sangat hebat dalam hal melukis,
menggamar dan menulis. Lukisanmu bagus sekali. Aku saja menyerah kalau disuruh
melukis.” Ucap Disty.
“Tentunya setiap manusia mempunyai
kelebihan dan kekurangan.” Ucap Disty.
Tanpa mereka sadari, seorang cowok
sudah lama memerhatikan ketiganya. Cowok itu tersenyum dan pandangannya
terpusat dengan seorang gadis yang pernah dilihatnya. Gadis itu… Tiba-tiba
senyum di cowok itu menghilang. Dia-kah gadis itu? Dia-kah gadis yang selama
ini dicarinya?
“Hai! Maaf menganggu kalian.” Ucap
cowok itu.
Otomatis Disty, Miley dan Donna
membalikkan badan dan langsung ternganga melihat siapa yang datang. Terutama
Disty. Matanya sampai tidak berkedip melihat cowok itu dengan senyuman
terindahnya.
“Kalian kenapa?” Tanya cowok yang
tidak lain adalah Rio.
Donna yang duluan tersadar langsung
bicara. “Eh kak Rio, biasalah kak. Kami-kami ini suka terpukau kalau melihat
cowok ganteng seperti kak Rio.” Ucapnya polos dan langsung dicubit oleh Miley.
Rio tertawa. “Kalian lucu juga.
Sedang apa disini? Sepertinya kalian menyukai musik juga kan?” Tanyanya.
Mata Miley langsung melebar. “Benar
itu! Kenalin ini Adisty Christina Clifford, panggil saja Disty. Dia adiknya
James dan Michael. Disty juga jago main gitar sama seperti kak Rio.” Ucapnya
sambil memperkenalkan Rio dengan Disty.
Disty menjabat tangan Rio dengan
ragu-ragu. Rio beneran ganteng sekali! Ramah lagi! Intinya Rio itu cowok yang
perfect deh. Sedari tadi Rio tidak berhenti untuk terus tersenyum. Dan tangan
Rio terasa lembut sekali.
“Adiknya Mike ya? Ku kira Michael
tidak mempunyai adik.” Ucap Rio.
Disty tersenyum malu. “Iya. Aku juga
tidak tau kenapa aku bisa mempunyai kakak laki-laki. Aku dibesarkan di
Indonesia.” Ucapnya.
“Indonesia?” Mata Rio melebar.
“Ibuku asli Indonesia. Tapi kata Mama, wajahku mirip dengan Ayah.” Sambungnya.
Ayah? Rio tersenyum pahit. Ayah?
Seharusnya ia tidak usah sok ramah dengan gadis dihadapannya yang bernama
Disty. Tapi kenapa ia merasa nyaman dengan Disty? Dan tatapan pertama mereka
terasa begitu mengesankan baginya.
“Wah berarti kita sama! Tapi Mamaku
blasteran Indo-Inggris. Kisahnya panjang sekali.” Ucap Disty. Gadis itu merasa
senang karena Rio ternyata ada darah Indonesia. Tapi wajahnya lebih mendominasi
cowok-cowok Inggris.
Tiba-tiba Rio mendapatkan suatu ide.
“Aku ingin tau banyak tentangmu dan Indonesia. Bagaimana jika nanti malam kita
keluar bersama?” Usulnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar