expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 27 Juni 2015

Like Rain of Hearts ( Part 4 )



Part 4

.

            Entah ide siapa ini apa mungkin ini ide Luke yang berniat mengajaknya mengelilingi Inggris karena kemarin ia hanya mengelilingi London saja dan tidak sampai keluar London. Padahal masih banyak sekali tempat-tempat yang harus ia kunjungi dan ia juga harus tau bagaimana sejarah tanah kelahiran Ayahnya itu.

            Pagi sekali mereka sudah bersiap-siap. Tentu saja Donna dan Miley mau menerima ajakan gratis dari Disty. James yang bertugas sebagai sopirnya karena dia yang paling tua dan juga satu-satunya yang bisa menyetir. Lagipula baru saja James mendapatkan sebuah mobil baru hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas.

            “Satu mobil bersama Michael. Seperti mimpi.” Ucap Donna sambil menatap Michael yang sedang sibuk membawa barang-barang yang akan dimasukkan ke dalam mobil.

            “Memangnya kau tidak mau mengutarakan perasaanmu yang sebenarnya ke Michael?” Tanya Disty.

            “Aku malu Dis. Aku sudah lama kenal Michael dan dia baik sekali. Aku takut kalau Michael nolak perasaanku dan hubungan kami menjadi tidak baik.” Jawab Donna.

            “Nah bagaimana dengan kisah cintamu? Kau masih berhubungan dengan cinta pertamamu?” Tanya Miley.

            Disty menelan ludahnya. Hampir seminggu ia berada di London dan ia merasa lebih baik. Ia seperti sudah bisa mengikhlaskan Lintar dan melupakan cinta pertamanya itu. Mungkin ia harus bisa belajar mencintai seseorang yang baru.

            Maybe I should forget him. Maybe I should find someone new.” Jawab Disty.

            Setelah siap, Disty, Miley dan Donna langsung masuk ke dalam mobil. Kebetulan mobil James cukup luas jadi tiga gadis itu bisa bergabung dengan Luke. Donna dan Miley tidak terlalu mengenal Luke. Setau mereka, Luke itu anaknya cuek, tidak suka diajak bercanda, membosankan tetapi otaknya bisa diacungin jempol.

            “Hai Luk!” Sapa Donna ceria.

            Luke yang duduknya paling pinggir tidak membalas sapaan Donna. Cowok berponi itu lebih memilih menatap pemandangan di luar kaca sana. Dia seperti tidak peduli dengan orang disampingnya.

            “Sombong sekali. Kenapa kau ikutan ikut?” Ucap Donna.

            Luke langsung menoleh ke arah Donna. “Ini ideku dengan Michael. Seharusnya aku yang tanya ke kalian kenapa kalian ikut juga.” Ucapnya lalu mengalihkan pandang ke kaca tadi.

            Donna langsung cemberut. “By the way, kita kemana nih?” Tanyanya.

            Di depan sana, James menjawab. “Intinya kalian pasti suka deh.”

            Kota London di pagi itu amatlah indah. Disty benar-benar merasakan keindahan Kota ini yang baginya berbeda dengan Jakarta. Disini suasananya lebih tenang meski London adalah salah satu Kota besar dan Kota tersibuk di dunia. Disty juga sempat melihat bus bertingkat khas London dan diam-diam ia ingin menaikinya. Tidak sia-sia Michael mengajaknya berkeliling London. Ia begitu puas dengan Kota ini dan diam-diam Disty enggan jika suatu hari nanti harus balik ke Indonesia. Hatinya terlalu sakit jika harus mengingat Lintar. Lintar?

            “Ada apa Dis?” Tanya Miley melihat ekspresi perubahan wajah Disty.

            Disty menghela nafas panjang. “Aku hanya teringat dengan Lintar. Ternyata selama ini dia berbohong padaku. Katanya Lintar sudah janji untuk terus mengirim email atau melalui media sosial lainnya. Tapi apa sekarang? Dia bak menghilang di telan bumi.” Jawabnya.

            Miley tersenyum. “Biarlah. Masih ada kita. Cowok emang begitu makanya aku malas pacaran soalnya belum siap sakit hati, hehe. Tapi tenang aja Dis, pasti kamu akan mendapatkan cowok yang lebih baik dari Lintar. Trust me.”

            James menghentikan mobilnya tapi tujuannya tidak jelas. Disty melihat ke luar jendela. Oh astaga ternyata di atas sana ada Big Ben. Setaunya, Big Ben itu lambang Negara Inggris yang berupa jam raksasa yang dulunya dinamakan Elizabeth Tower sebagai penghormatan kepada Ratu Elizabeth II yang telah bertakhta selama enam puluh tahun lamanya. Usia jam raksasa ini kira-kira seratus lima puluh tahun.

            “Nah Disty, kau kan belum sempat ambil foto di dekat menara itu. Bagaimana kalau kita fotoan bersama?” Ucap James. Ia membuka pintu mobil dan keluar sambil membawa kamera.

            Disty terkagum-kagum dengan tempat yang letaknya tidak jauh dari menara Big Ben. Karena Big Ben memiliki jam di keempat sisinya, mereka jadi bisa leluasa mengambil pose dari segala penjuru arah.

            “Tempat yang indah! Tidak sia-sia aku kemari!” Ucap Disty senang.

            Donna tertawa. “Iya Dis kau salah satu anak yang beruntung yang bisa tinggal disini. Aku punya banyak sekali teman dari Negara lain yang katanya ingin sekali pergi ke London. Aku juga punya lho teman dari Indonesia.” Ucapnya.

            Akhirnya mereka pun berfotoan. James yang memotret mereka. Diantara keenamnya, Luke yang paling dikit bicara. Bahkan dia sama sekali tidak pernah bicara. Kata Michael, Luke memang pendiam dan sedikit misterius. Luke hanya mau bicara mengenai soal pelajaran. Michael pernah menanyakan apa sih hobi Luke dan Luke hanya menjawab: belajar. Luke memang anak yang membosankan, itu pikir Michael. Seharusnya Luke bisa menikmati masa-masa remaja yang indah ini. Kebetulan umur Luke sama dengan Michael yaitu empat belas tahun.

            “Wah ekspresimu lucu sekali. Aku suka. Ternyata adikku cantik sekali.” Ucap Michael sambil mengacak-acak rambut Disty.

            “Setelah ini kita kemana?” Tanya Miley bersemangat.

            Mereka pun kembali masuk ke dalam mobil dan mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. James sengaja memutarkan lagu santai sehingga menambah suasana menjadi lebih ceria.

            “Kau tau, cowok-cowok di sekolah kita banyak sekali yang mengejarmu. Hati-hati lho Dis. Kau harus milih cowok yang baik-baik.” Ucap Donna. Kok cewek itu ngomongin cowok terus ya?

            “Aku belum mau pacaran lagi. Jatuh cinta saja rasanya belum siap.” Ucap Disty.

            “Hahaha.. Iya deh.” Ucap Donna.

            Banyak sekali tempat-tempat kunjungan mereka. Mereka juga sempat menikmati indahnya sungai Thames tapi mereka belum sempat untuk naik kapal feri untuk melintasi sungai itu. Juga London Eye. Tiba-tiba Disty teringat ucapannya pada Lintar. Sebelum ia tau kalau Ayahnya adalah orang Inggris, Disty pernah bercita-cita untuk keluar negeri bersama Lintar. Salah satunya adalah London. Ya. Disty ingin naik London Eye bersama Lintar dan rasanya pasti sangat romantis. Apalagi jika tiba di puncak. Ah.. Masa-masa yang sangat indah. Cinta pertama memang indah. Bahkan London pun tidak bisa mengalahkan cinta pertamanya. Buktinya bayangan Lintar masih menari-nari di pikirannya.

            Tidak terasa telah memasuki jam makan siang. Mau tidak mau mereka harus makan. Apalagi James yang emang lelah karena nyetir mobil terus. Emang sih perjalanan ini hanya turun sebentar, mengambil foto lalu lanjut ke perjalanan berikutnya. James yang sebenarnya ingin mengunjungi museum malah ia pending karena ia rasa Disty pasti bosan dengan suasana museum seperti itu.

            Mereka pun memilih mencari tempat makan di langganan keluarga James. Yaitu sebuah restoran tapi tidak terlalu mewah yang cocok untuk didatangi para remaja seperti mereka. Benar saja, isi restoran itu kebanyakan remaja semua. Disty merasa perutnya lapar dan ingin segera diisi.

            “Perjalanan yang menyenangkan.” Ucap Disty.

            “Iya Dis. Tapi sebelum malam kita harus balik. Ayah tadi sempat menelponku kalau kami tidak boleh jauh-jauh. Biar Ayah saja yang mengantar kami menjelajah Inggris bahkan ke Liverpool.” Ucap James.

            “Ah tidak apa-apa. Ini adalah perjalanan terbaikku. Aku puas sekali.” Ucap Disty.

            Entah sejak kapan di samping kanan Disty ada Luke. Disty kira cowok pendiam itu menjauhinya tapi ternyata mendekatinya. Diam-diam Disty ingin berkenalan lebih dengan Luke. Disty tidak bisa berbohong kalau Luke adalah cowok pertama yang ia kenal saat ia tiba di Inggris.

            “Luke. Luke Hemmings?” Tanya Disty dengan suara pelan.

            Luke pun menoleh ke arahnya. Disty tersenyum puas. Ternyata wajah Luke manis juga. Beda sekali dengan wajah cowok-cowok Indonesia dan tubuh Luke cukup tinggi padahal umur cowok itu masih seperti umur Michael.

            “Aku Disty. Adisty Christina Clifford. Kak Michael bilang kau anaknya pendiam, cuek tapi cerdas. Benar kan?” Tanya Disty. Gadis itu emang suka ceplas-ceplos kalau bicara.

            “Iya. Terus kenapa? Aku anaknya aneh ya?” Tanya Luke.

            Disty tertawa. “Tidak kok. Hanya saja kelakuanmu yang beda dengan lainnya. A little bit mysterious.”

            “Sama saja kan aneh.” Ucap Luke lalu memalingkan wajahnya.

            Ditsy geregetan sekali dengan cowok macam Luke. Tentu saja Luke berbeda jauh dengan Lintar. Lintar itu anaknya cerewet dan suka bergaul. Lintar juga punya jiwa pemimpin. Pasti Lintar yang akan dijadikan sebagai kapten basket SMP lamanya. Disty yakin itu. Gadis itu pun memalingkan wajahnya karena pesanan sudah datang. Disty emang sengaja pesan spaghetti karena ia memang suka spaghetti dan ingin sekali pergi ke berbagai Negara khususnya Eropa untuk mencicipi spaghetti-spaghetti mereka. Apalagi di Paris yang ia tau banyak sekali koki disana dan makanan-makanannya enak sekali.

            Tanpa Disty sadari, diam-diam Luke memerhatikannya dan entah apa yang ada dipikiran cowok itu. Kemudian Luke cepat-cepat menunduk sebelum ketahuan Disty.

            “Aku ingin jalan-jalan keluar. Capek duduk terus.” Ucap Disty tiba-tiba. Makanannya emang sudah habis sementara yang lain masih ada. Bahkan Michael masih ingin memesan makanan penutup.

            “Nanti dulu aja Dis aku masih makan. Kau sih tidak suka makan.” Ucap Michael.

            “Aku aja yang nemenin.” Ucap Luke tiba-tiba. Otomatis semua mata tertuju ke arahnya. Baru kali ini Luke bicara.

            “Ya udah. Ayo.” Ucap Disty sambil menarik lengan Luke dan pergi meninggalkan tempat itu.

            “Wah, kalau diperhatikan Disty dan Luke cocok sekali.” Ucap Donna.

            Michael juga mempunyai pikiran yang sama dengan Donna. “Iya juga. Mereka cocok sekali. Luke anaknya terlalu kaku. Kalau dia berteman baik dengan Disty, pasti sifatnya akan terbuka dan tidak pendiam seperti itu.” Ucapnya.

            Di luar sana, suasana tidak terlalu panas. Banyak sekali orang yang berlalu lalang. Disty menikmati perjalanannya dengan kaki-kakinya. Beda sekali rasanya melihat Inggris menggunakan kendaraan dengan berjalan kaki.

            “Aku tau! Alasanmu mau menemaniku karena kau ingin tau tentangku kan?” Ucap Disty tiba-tiba.

            “Untuk apa aku harus tau tentangmu? Lebih baik memikirkan pelajaran dibanding mencari tau orang sepertimu.” Jawab Luke. Nada suaranya terdengar tidak ramah.

            “Aku heran deh sama kamu. Kenapa isi hidupmu adalah belajar, belajar dan belajar sih? Apa kau tidak bosan? Atau apa kau pernah jatuh cinta? Atau kau pernah disakiti oleh seorang gadis? Atau…”

            Pandangan Disty tertuju pada seorang cowok yang sedang duduk sambil bermain gitar bersama teman-temannya. Disty menatap cowok itu dengan tak kedip. Dari jauh saja cowok itu sudah terlihat istimewa apalagi jika dilihat dari dekat. Ah kenapa dirinya jadi suka melihat cowok yang tidak dikenal itu?

            “Ada apa?” Tanya Luke, heran dengan sikap Disty.

            Karena Disty tidak menjawab, Luke memerhatikan arah pandang Disty yang ternyata tertuju pada empat cowok yang sudah tidak asing lagi ia lihat. Seisi sekolah tentu mengenali mereka. Mereka juga adalah gabungan empat cowok yang terkenal di sekolah dan yang banyak digandrungi oleh para cewek. Terutama yang manis itu.

            “Kau kenal tidak cowok itu?” Tanya Disty.

            “Rio?” Tebak Luke.

            “Aku tidak tau. Yang jelas dia sedang bermain gitar dan memakai baju berwarna putih.” Jawab Disty.

            Tebakan Luke ternyata benar. Tidak ada satupun gadis yang tidak tertartik dengan Rio. Mario Stevano Haling namanya. Rio sekelas dengannya tapi Luke tidak suka dengan sikap Rio yang seperti sok berkuasa dan merasa dirinya yang paling hebat dan sempurna. Terakhir Rio putus dengan seorang gadis model bernama Cara.

            “Iya. Dia Rio. Teman kelasku.” Ucap Luke.

            “Wah berarti teman sekelas Michael dong. Dia keren banget. Apalagi kalau sedang main gitar. Aku berharap aku bisa kenal dekat dengannya.” Ucap Disty.

            Tiba-tiba mata Disty tak sengaja bertatapan dengan mata cowok yang kata Luke bernama Rio. Disty merasa dunianya runtuh dan merasa berada di dunia lain saat bertatapan dengan mata yang mampu menghanyutkannya dalam sekali tatap. Namun Disty merasa ada sesuatu yang tidak asing lagi dari Rio. Apa itu? Disty tidak bisa menemukannya. Yang jelas wajahnya Rio sudah tidak asing lagi. Memangnya ia pernah bertemu Rio sebelumnya?

            “Eh..” Kaget Disty karena lengannya di senggol oleh Luke.

            “Aku tau dia juga sedang menatapmu.” Ucap Luke. Lagi-lagi dengan suara yang tidak ramah.

            Disty tidak mempedulikan ucapan Luke sekaligus seperti tidak menganggap Luke ada. Gadis itu melihat Rio yang sedang menyanyi bersama teman-temannya. Kenapa Michael tidak pernah menceritakan tentang Rio padanya?

            “Sama seperti James. Rio juga punya band namanya Boys 124. Dia itu vokalis sama gitarisnya.” Ucap Luke.

            Baru Disty menanggapi ucapan Luke. “Beneran? Keren dong! I love band! Kalau aku cowok, sudah pasti aku ingin membuat band. Pasti Rio idola satu sekolah. Dia keren banget sih.” Ucapnya.

            “Kau menyukai seseorang karena fisik dan bakat orang tersebut. Seharusnya kau menyukai seseorang apa adanya dan tidak perlu memandang bagaimana orang itu.” Ucap Luke.

            “Bilang aja kau cemburu sama Rio. Aku heran dengan hidupmu. Pasti sangat membosankan. Bagiku, musik itu segalanya. Kau sih tidak bisa merasakan keindahan musik. Kata Michael kerjaanmu belajar saja. Dasar cowok yang membosankan!” Ucap Disty lalu pergi meninggalkan Luke.

            Setelah tiba di restoran tadi, James dan lainnya sudah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Sisa waktu masih banyak dan sepertinya mereka belum puas juga. Melihat kedatangan Disty sendirian, James langsung bicara.

            “Luke mana?” Tanya James.

            “Entah. Dibelakang mungkin.” Jawab Disty cuek. Tiba-tiba gadis itu teringat dengan cowok bernama Rio. Entah ia merasa itu bukan pertemuan terakhir mereka, lebih tepatnya lagi bukan tatapan terakhir mereka. Kemudian Luke datang dan mendekati Michael.

            “Kenapa kalian berpisah sih? Ada apa?” Tanya Michael heran tetapi Luke tidak menjawab.

            Mereka pun melanjutkan perjalanan. Di dalam mobil, Disty tidak sengaja memperhatikan Luke yang sedang mendengarkan lagu lewat headset. Artinya Luke suka mendengarkan lagu. Atau sedang mendengarkan tentang pelajaran?

            “Eh kalian kenal tidak sama Rio?” Tanya Disty tiba-tiba.

            “Rio?” Ucap Donna dan Miley serempak.

            “Iya. Rio. Kak Mike tentu kenal kan sama Rio.” Jawab Disty.

            “Mario Elgort? Tentu saja. Dia teman kelasku tapi aku kurang suka padanya. Dia sudah mengejekku dan menganggapku bodoh. Untuk apa berteman dengan cowok sombong seperti dia?” Ucap Michael.

            Tentu saja Disty tidak paham apa yang dimaksud oleh Michael. Michael pun bercerita. “Dulu kami sahabatan dari kelas tujuh. Tapi ketika naik ke kelas delapan, sikapnya mulai berubah. Ternyata selama ini dia bermain dibelakangku. Rio itu anaknya berbakat sekali. Dia mempunyai suara yang sangat bagus dan jago memainkan semua alat musik. Diam-diam Rio punya band bernama Boys 124 dan mereka cukup terkenal di sekolah dan menjadi idola. Aku ingin bergabung dengan Rio tetapi Rio menolakku mentah-mentah. Katanya aku itu payah. Tentu saja aku kecewa dan aku sudah tidak menganggapnya teman walau di kelas sembilan ini Rio mulai baik padaku.” Jelasnya.

            “Oh jadi begitu. Tapi kulihat dia baik kok.” Ucap Disty.

            “Memangnya kau sudah pernah bertemu Rio?” Tanya Miley penasaran.

            “Iya. Tadi sewaktu aku ingin keluar mencari angin aku tidak sengaja melihatnya sedang bermain gitar, dan style-nya itu….” Ucap Disty sambil membayangkan tatapan Rio tadi.

            “Wah gawat. Kalau dalam sekali pandang kau sudah tertartik dengannya, maka kau tidak bisa berhenti memikirkannya. Rio itu idola nomor satu di sekolah. Bahkan James kalah telak! Selain ganteng, manis, keren, dan apalah, Rio itu anaknya berbakat sekali. Nilainya selalu dapat A dan tidak pernah mendapatkan B. Rio juga pinter nyanyi, suaranya bikin merinding, juga Rio jago banget main gitar sesuai dengan tipe cowokku, hehe..” Ucap Miley. Jangan-jangan Miley naksir lagi sama Rio.

            “Bagaimana pendapat kak James tentang Rio?” Tanya Disty.

            “Hmm.. Sama seperti Miley, maybe. Aku merasa tidak bisa dibandingkan dengan Rio. Suaraku tidak bagus. Aku kalau menyanyi tidak enak di dengar. Aku hanya bisa bermain gitar saja.” Ucap James.

            “Hati-hati Dis. Kalau kau tidak bisa melupakan pertemuanmu tadi, maka kau akan jatuh cinta dengannya.” Ucap Donna.

            Tiba-tiba Disty tersenyum. “Maybe I can fall in love with him. Yeah. He’s perfect to me. Apalagi aku bermimpi ingin punya cowok yang jago main gitar seperti Rio. Pasti hidupku akan bahagia. Si Lintar kan tidak suka musik.” Ucapnya. Nah mengapa Disty sampai bisa membeda-bedakan antara Lintar dengan Rio?

            “Yeah sama denganku! Pokoknya cowok gitar itu segalanya deh.” Ucap Miley.

            “Jatuh cinta sama Rio wajar. Seenggaknya kau bisa move on dari Lintar.” Ucap Donna.

            Move on? Disty merasa seperti sudah tidak mengenali Lintar lagi karena tatapan Rio tadi. Secepat inikah ia move on? Jadi, satu-satunya cara untuk move on adalah mulai menyukai seseorang yang baru? Lantas bagaimana jika seseorang yang baru itu sudah punya pacar atau tidak suka padanya?

            “Dan yang paling penting… Rio’s single!” Sorak Donna.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar