expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Jumat, 29 November 2013

Miracle of Rainbown ( Part 16 )

Hy all !!!

Ini part 16 nya,,

Terus baca ya cerbung gaje qu ini ;)


Part 16

.

.

.

Udah setengah jam lebih Shilla menunggu Rio. Cowok itu nggak muncul-muncul juga. Shilla takut sesuatu terjadi pada Rio. Ia coba menelpon nomor Rio. Operator bilang, nomor itu nggak aktif. Duh.. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada Rio. Gawat!

Sekolah udah mulai sepi. Shilla hanya ditemani mobil honda jazz Rio di belakangnya. Perasaannya mulai nggak enak. Apa sebaiknya ia menyusul Rio ke gua itu? Sendiri? Shilla nggak yakin. Jika ada teman, tentu Shilla berani.

“Dimana Rio?” Tanya Alvin yang sudah ada di sampingnya.

Shilla mendadak kaget. “Rio.. Tadi dia ke gua itu.” Jawab Shilla.

Shit! Alvin memukul jidatnya. Bisa-bisanya cowok seperti Rio terkena jebakan Gabriel. Ya, ia tadi sempat melihat Gabriel masuk ke dalam gua bersama seorang gadis kecil berumuran tujuh tahun. Gue harus telpon Cakka!

“Kenapa?” Tanya Shilla.

Alvin nggak menjawab. Ia menunggu Cakka menerima panggilannya. Ayo.. Angkat Kka.. Angkat.. Kalo nggak, Rio bakal mati sekarang.

“Ya? Lo harus ke sekolah.. Rio.. Dia sedang dalam bahaya.. Oke.”

“Rio kenapa?” Tanya Shilla penasaran. Ia melihat wajah Alvin yang panik.

“Pacar lo dalam bahaya!” Kata Alvin sedikit membentak.

“Lo tau darimana kalo Rio dalam bahaya?”

Sebenarnya Alvin malas menjawab pertanyaan Shilla. Tentu semua ini ada hubungannya dengan Shilla. Gabriel nggak akan menjebak Rio kalo Rio nggak nembak Shilla. Kka.. Ayo datang..

***

“Lo nggak bisa lepas begitu aja dari gue.”

“Lo..” Tunjuk Rio pada seorang cowok yang tadi meninju punggungnya.

“Kenapa? Lo kaget ya? Dasar orang yang suka melanggar janji.”

Cowok yang bernama Gabriel itu langsung meninju perut Rio. Rio sempat membalas tinju itu, tapi entah mengapa tenaganya saat itu tidak seperti biasa. Alhasil pukulannya tadi tidak bisa mencelakai Gabriel.

“Stop Yel! Salah gue apa? Melanggar janji apa gue?” Tanya Rio. Ia berusaha menahan rasa sakit di perutnya.

“Salah lo..” Gabriel menggantung. “Shilla. Lo pasti tau.” Lanjutnya lalu meninju mulut Rio. Darah segar keluar dari mulutnya akibat tinju dari Gabriel.

“Yel.. Gue nggak ada niat pacaran sama Shilla..” Kata Rio membela diri.

Gabriel menatap Rio tajam. Sekali lagi, ia meninju Rio sampai Rio jatuh ke bawah. Pintar juga ya Rio, nggak mau membalas perbuatannya. Apa Rio sudah tau kesalahannya?

“Terus, kenapa lo macarain dia? Gue tau lo lebih sempurna dari gue. Gue tau lo cowok nomor satu di SMA Vega, bahkan mungkin di seluruh dunia. Gue tau wajah gue nggak setampan wajah lo. Dan gue tau, Shilla sangat menyukai lo dan lo janji nggak akan macarin dia. Tapi sekarang, lo malah buat pengakuan kalo lo jadian sama Shilla kemarin. Sahabat macam apa lo? Ohya, kita kan bukan sahabat lagi. Jadi suka-suka lo aja mau nembak siapa saja.” Kata Gabriel. Ia melihat puas ke arah Rio yang mungkin sebentar lagi pingsan. Dasar cowok lemah!

“Gu.. Gue nggak suka sama Shilla.” Kata Rio.

“Nggak suka? Kalo nggak suka, kenapa lo nembak dia?”

Sangat sulit memberi penjelasan pada Gabriel. “Karena ada satu hal. Makanya gue terpaksa nembak dia. Dan hubungan gue sama Shilla nggak akan lama.”

“Pembohong! Pendusta!” Bentak Gabriel. Lalu, ia mengeluarkan pisau lipat dari balik jaketnya. Rio terhenyak. Gabriel mau membunuhnya? Hanya karena Shilla? Pisau itu kini berada di perutnya dan siap menusuk ulu hatinya.

“Lo akan mati.” Kata Gabriel tersenyum licik. Emosinya saat ini nggak terkontrol. Yang ada dipikirannya hanya ingin cepat-cepat memusnahkan Rio.

“Lo akan mati..” Kata Gabriel lagi. Kini, pisau yang tajam itu sudah siap melakukan suatu tugas yang membahayakan. Rio memejamkan mata dan merasakan suatu perasaan yang berbeda. Perasaan yang berbeda dari yang pernah ia rasakan.

***

“Rio..” Lirih gadis itu di tengah-tengah ketidak sadarannya.

Bau obat memenuhi ruangan itu. Gadis yang bernama Acha itu terbaring lemah di atas ranjang tempatnya di rawat. Baru saja ia menjalani kemoteraphy.

“Rio..” Lirihnya lagi.

Air matanya mentes. Walau cuman setetes. Acha nggak bisa menangis lagi. Ia lelah menangis dan menangis membuatnya frustrasi. Yang ia rasakan adalah sebuah firasat buruk. Apakah itu? Apa nyawanya sebentar lagi kembali pada asalnya? Tidak. Ia nggak ingin mati. Masih banyak kegiatan yang ingin ia lakukan. Dan ia tidak mau berpisah dengan Rio.

Rio?

Ada apa dengan Rio?

Mengapa... Mengapa ia merasakan... Rio berada disampingnya? Disampingnya? Acha tidak berani membuka mata. Mungkin pikirannya nggak jernih. Ia pun kembali tidur. Tapi, ada tangan yang menyentuhnya. Sentuhan itu menjalar sampai mengalir ke darahnya. Apa sentuhan itu...

Rio?

***

“Lo akan mati..” Kata Gabriel lagi. Kini, pisau yang tajam itu sudah siap melakukan suatu tugas yang membahayakan. Rio memejamkan mata dan merasakan suatu perasaan yang berbeda. Perasaan yang berbeda dari yang pernah ia rasakan.

Acha?

Sejak kapan ia kembali sedih ketika ia mengingat nama itu? Rio merasakan sedang berada dekat dengan Acha. Tepatnya disamping Acha. Ia mengelus lembut tangan dan rambut Acha. Tuhan.. Apa.. Apa aku sudah mati?

BRUAK !!!

Kejadian itu sangatlah cepat. Perlahan, Rio membuka mata dan mendapati dirinya masih hidup. Ia berusaha bangun, namun tenaganya tidaklah mampu berbuat sedemikian. Yang ia lihat Alvin dan Cakka sedang menghajar Gabriel.

“Lo mau bunuh Rio?” Geram Alvin. Ia meninju mulut Gabriel. Pisau yang tadi ia pegang kini berada di tangan Cakka.

“Bukan urusan lo!” Bentak Gabriel. Ia membalas tinjuan Alvin dengan keras. Karena waktu SMP Gabriel dikenal jago karate, ia mampu membuat lawannya binasa. Alhasil, Alvin terjatuh seperti Rio. Ia bukan tipe cowok yang jago kelahi.

Melihat hal itu, Cakka berusaha menyelamatkan Alvin dan Rio. Di tangannya ada pisau tajam. Jadi, apa ia berniat menusuk Gabriel dengan pisau itu? Kalo Gabriel mati gimana? Apa ia nanti dijebloskan ke penjara?

“Maju!” Bentak Gabriel. Wajahnya seperti hantu di fim horor.

Cakka maju selangkah. Apa ia berani menghajar Gabriel yang dulu dikenal jago karate? Bahkan raja karate? Ide muncul menyelamatkannya. Ya, ia mengeluarkan HP dari saku celananya dan menelpon seseorang. Gabriel melihatnya dengan senyum merehkan. Masih sempat-sempatnya Cakka menelpon demi mendapatkan bantuan.

Secara cepat, tanpa Cakka ketahui, HPnya terpelanting jauh dan pecah. Sialnya, nomor HP yang ia hubungi nggak diangkat. Cakka menyesali perbuatannya. Mengapa juga ia menelpon Agni? Agni kan nggak pernah mau angkat telponnya.

Gabriel berjalan mendekati Cakka. “Lo mau mati juga?” Tanyanya. Ternyata, ia membawa pisau cadangan. Bahkan pisau itu lebih tajam dari pisau yang direbut Cakka.

“Cakka! Awas!” Teriak Alvin yang udah mulai menyerang Gabriel. Tapi Gabriel tau apa yang ingin Alvin lakukan. Ia pun menendang Alvin dan seketika itu juga Alvin sama seperti Rio. Tenaganya nggak mampu membuatnya membalas perlakuan Gabriel. Berdiri pun ia nggak bisa. Kini, tinggal Cakka yang masih utuh.

“Lo gila Yel! Lo sahabat gue, sahabat Rio juga. Kenapa lo hajar mereka?” Bentak Cakka, walau sejatinya ia takut berhadapan ama Gabriel yang udah berubah jadi monster.

“Sahabat? Oke. Lo dan Alvin adalah sahabat gue. Tapi tidak dengan cowok yang bernama Rio tadi. Sekarang, gue kasi lo dua pilihan.”

“Rio teman lo Yel.” Kata Cakka. “Lo salah besar hajar dia gara-gara masalah cewek. Lo nggak punya hak ngelarang Rio pacaran sama siapapun.” Sambungnya.

“Ohya, terus, mana janjinya untuk nggak macarain Shilla dan berusaha bantu gue agar gue dekat sama Shilla?”

Cakka terdiam. Kalo masalah janji itu ia nggak tau sama sekali. Terpenting, bagaimana cara agar ia, Alvin dan Rio selamat dan bisa mendamaikan Rio dengan Gabriel. Tapi otaknya lagi buntu. Belum lagi masalahnya dengan Oik yang belum terselesaikan.

“Apa pilihannya?” Tanya Cakka.

“Pilihannya...”

***

Di perjalanan, Agni menceritakan kisah hidupnya pada Ify dan Sivia. Termasuk mengapa ia membentak Cakka dan menjauhi Cakka. Sejatinya, ia sangat menyukai Cakka. Cakka adalah sahabat kecilnya, tapi dulu. Setelah ia berjanji ke Oik kalo ia nggak akan mendekati Cakka lagi, ia mengira janji itu cuman main-main. Tapi, sampai sekarang pun Oik masih ingat janji itu. Dan, sampai kapanpun ia nggak akan bisa bersama Cakka.

“Via baru tau kalo kakak suka ama kak Cakka.” Kata Sivia.

“Iya. Tapi nggak papa kok. Mungkin aku sama Cakka nggak ditakdirkan bersama.” Kata Agni sedikit sedih.

Mereka bertiga berjalan menuju sekolah. Tadi sewaktu pulang sekolah, mereka sepakat beli novel di Gramedia yang letaknya nggak jauh dari sekolah. Jadi, ke Gramedianya jalan kaki. Buang-buang uang kan kalo naik kendaraan umum.

“Eh, bukannya itu mobil Rio?” Tanya Sivia melihat honda jazz terparkir manis di luar gerbang.

“Iya. Lho? Kok ada Shilla disana?” Kata Agni. Cewek itu melihat Shilla yang sedang kebingungan. Ketiga cewek itu berjalan mendekati Shilla.

Shilla menyadari ada tiga cewek yang mendekatinya. “Kalian.. Apa kalian..” Kata Shilla.

“Ada apa?” Tanya Agni merasakan ketidakberesan.

“Rio sedang ada masalah! Dan Alvin ama Cakka menyusulnya di gua itu.” Kata Shilla menunjuk sebuah gua yang terlihat angker.

Gua misterius kata orang. Aneh! Harusnya gua itu dijadiin tempat wisata. Bukannya tempat tinggal Jin, Iblis, dan Setan. Tunggu! Tadi Shilla bilang ‘Cakka’? Cakka kan tadi menelponnya dan ia nggak sempat angkat.

“Kenapa di gua itu?” Tanya Sivia bergidik ngeri.

“Gue ngerasa mereka sedang ada masalah. Sebaiknya kita kesana.” Kata Shilla walau nggak yakin berani kesana.

Sebentar. Apa saat Cakka menelponnya, Cakka berada di gua? Ada apa Cakka menelponnya? Biasanya, kalo ada hal penting baru Cakka nelpon. Cakka bukan tipe cowok yang suka basa-basi. Agni balik menelpon Cakka. Semoga Cakka baik-baik aja.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.

“Nelpon siapa Ag?” Tanya Ify melihat wajah Agni yang berubah menjadi pucat.

“Kita harus ke gua! Secepatnya!” Kata Agni.

***

“Pertama, gue akan bebasin lo dan Gabriel, tapi Rio nggak akan gue lepas. Dan pilihan kedua.. Kalian bertiga akan gue bunuh kalo kalian nggak mau memilih pilihan pertama. Gimana? Pilih yang mana?” Kata Gabriel.

“Mmm, pilihan ketiga?” Tanya Cakka. Masih sempat-sempatnya cowok itu bercanda.

“Hanya ada dua pilihan. Gue tunggu lo sampai lima menit. Kalo lo belum menemukan jawaban... Terpaksa gue bunuh kalian semua.”

Samanya aja dong pilih pilihan kedua. Bagaimana bisa menemukan jawaban, sedangkan otaknya mampet. Nggak bisa buat mikir.

“Empat menit.” Kata Gabriel. Cowok itu memamerkan pisau yang jauh lebih besar dan lebih tajam dari yang Cakka bawa.

“Tunggu! Kalo gue pilih yang pertama, apa lo akan bunuh Rio?” Tanya Cakka mencari kepastian.

“Tentu. Gue bosan liat wajahnya.” Jawab Gabriel.

“Apa lo nggak takut lo dimasukin penjara gara-gara bunuh orang?”

“Takut? Gue nggak akan takut kalo polisi ngincer gue.” Jawab Gabriel santai. Seakan-akan hal itu nggak akan terjadi.

Cakka mundur selangkah. Apa ia berani memilih pilihan pertama? Tidak! Artinya, ia lebih mementingkan diri sendiri dibanding orang lain. Cakka tidak ingin Rio mati. Ia juga yakin, Gabriel nggak bakal bunuh Rio.

“Tiga menit.” Kata Gabriel.

Tinggal dua menit lagi waktu yang terisisa, dan waktu singkat itu harus ia gunakan sebaik-baiknya. Pikir Kka.. Pikir.. Lha, kok yang muncul malah wajah Agni dan Oik yang sedang bermain bersama? Hei! Apa ingatannya sudah pulih?  

“Dua menit.”

Di lapangan yang luas itu, ia, Agni, dan Oik berlari bersama. Tapi, ia lebih memerhatikan Agni dibanding Oik. Menurutnya, Agni lebih baik dibanding Oik. Benar kan. Dulu Agni dan Oik bersahabat. Lalu, apa alasan Oik melarang Agni mendekatinya?

“Satu menit.”

Tunggu! Sepertinya ia teringat sesuatu. Tangisan Oik, rasa keputusasaan Oik, Mama Oik, Papanya.. Ketidakadilan hidup..

“Lo bodoh!” Kata Gabriel. Ia menghajar Cakka hingga Cakka terjatuh. Kepalanya terasa sakit karena memaksakan diri untuk meningat masa lalunya. Ia.. Agni.. Oik.. Adalah sahabat?

“Lo mau mati?” Bentak Gabriel. Pisau itu menempel di perut Cakka dan siap melakukan tugasnya. Cakka nggak berusaha menyelamatkan diri. Masa lalunya lah yang paling penting.

‘Cowok aneh’. Batin Gabriel. Cakka sama sekali nggak takut atau apa. Padahal, ia nggak punya niat bunuh Cakka. Ia hanya ingin mengakhiri hidup Rio, bukan hidup Cakka.

“TUNGGU !!!” Teriak seorang cewek. Seketika itu juga pisau yang dipegangnya terlempar jauh. Tangannya seakan-akan lumpuh ketika mendengar suara itu.

“Shilla?” Kata Gabriel.

Empat cewek yang barusan datang itu membuat nyalinya menciut. Gabriel seperti berhadapan dengan polisi. Nggak tau kenapa ia merasa takut berhadapan ama empat cewek itu. Terutama Shilla! Shilla menatapnya garang. Lalu Shilla mengalihkan pandang melihat Rio yang tak sadarkan diri dan Alvin yang setengah sadar.

“Alvin!” Histeris Sivia.

Dapat ditebak, cewek itu segera menolong pacarnya. Alvin tersenyum melihat sang bidadari yang sudah ada disampingnya. Ia mencoba bangkit, dan berhasil. Rasa sakitnya terkalahkan oleh senyuman manis Sivia.

Sementara Agni, ia langsung membantu Cakka. Cewek itu khawatir banget ama Cakka. Ketika Agni menatap Cakka, Cakka merasakan ingatannya kembali lengkap. Ia dan Agni dulu adalah sahabat. Tapi ada satu ingatan yang masih ia ragukan. Yaitu hubungannya ama Oik. Seperti apa sih hubungannya ama Oik yang sebenarnya?

Shilla mengurusi Gabriel, Agni membantu Cakka, dan Sivia menolong Alvin. Lantas, apakah cewek bernama Ify ini berani mendekati Rio? Harus! Walau Rio bukan siapa-siapanya, ia berhak menolong Rio. Ify hendak mendekati Rio, tapi...

“Mau apa lo?” Bentak Gabriel pada Ify. Ify sendiri memilih mundur karena takut.

“Gue akan bunuh tuh cowok!” Kata Gabriel.

Secepat mungkin ia mengambil pisau yang tadi sempat terlempar jauh. Setelah itu ia melakukan tugasnya yang tadi sempat ia tunda. Yaitu mengakhiri hidup Rio. Tentu Shilla cs kaget bukan main dan nggak berani menghentikan perbuatan Gabriel.

“Ke.. Kenapa lo mau bunuh Rio?” Tanya Shilla.

Kini, tangan kiri Gabriel memegang kepala Rio dan tangan kanannya memegang pisau yang siap membantunya untuk menyelesaikan tugasnya ini.

“Gue enek liat rupanya.” Kata Gabriel.

Selain Shilla, pada diam semua. Biarkan Shilla yang mengatasi masalah ini. “Kenapa enek? Kenapa lo bunuh teman lo sendiri? Apa salah Rio?”

“Salahnya? Banyak! Dia merebut semua impian gue. Dan lo! Gue nggak nyangka berani-beraninya Rio nembak lo, padahal Rio udah janji untuk nggak akan pernah macarin lo.”

Jadi ini alasan mengapa Gabriel ingin membunuh Rio? Sadar Shill, sadar! Lo yang salah, bukan Rio. Lo yang harus mati, bukan Rio.

“Jadi.. Lo mau bunuh Rio gara-gara dia nembak gue? Itu aja?” Tanya Shilla.

Gabriel tidak menjawab. Tangan kanannya yang memegang pisau siap memisahkan nyawa dari tubuh itu. Pelan-pelan...

“Tunggu kak! Biar aku yang jadi pengganti kak Rio. Kak Rio nggak boleh mati, bunuh aja aku kak.” Kata Ify tegas.

“IFY!” Teriak Sivia ketakutan. Tapi pelukan hangat Alvin menenangkannya.

“Tidak! Gue nggak punya niat bunuh lo!” Bentak Gabriel.

Ify berjalan mendekati Shilla. “Jangan. Kamu anak baik, kamu nggak pantas mati dibunuh Gabriel. Biar aku aja.” Kata Shilla.

“Tapi, kak..”

“Nggak papa.” Kata Shilla tersenyum.

“Lo siap pacar tercinta lo mati?” Tanya Gabriel.

“Biar gue yang jadi gantinya.” Kata Shilla menunjuk dirinya.

Gabriel menatap Shilla tak percaya. Sebesar itukah cinta Shilla ke Rio? Tugasnya disini hanya ingin mengakhiri hidup Rio, itu saja. Kalo seandainya ia ditangkap polisi atau apa, Gabriel nggak peduli. Asalkan Rio mati, ia bahagia walau ia di kurung di penjara.

“Gue.. Gue emang suka ama Rio. Tapi sekarang tidak. Oke, kalo lo mau jadi pacar gue, gue terima cinta lo dan lo harus bebaskan Rio, gimana?” Kata Shilla.

Sekarang bukan saatnya ia memikirkan masalah itu. Sama saja artinya ia merusak hubungan Shilla dengan Rio. Karena itulah, ia nggak terpengaruh dengan perkataan Shilla, dan tugasnya kali ini harus sukses ia lakukan.

“Yel, gue cuman seminggu pacaran ama Rio, pliss.. Lo harus paham.. Rio nembak gue karena perintah gue, plis Yel, semua ini salah gue, jadi, tolong jauhi pisau itu...”

Jangan terpengaruh dengan perkataan itu! Bantah hatinya. Tugas ini harus ia selesaikan dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Termasuk Shilla!

“Gue nggak peduli lo pacaran apa tidak. Tugas gue disini yaitu mengakhiri hidup Rio, jadi, berdoa aja supaya amal perbuatan Rio diterima Tuhan.” Kata Gabriel. Tangannya yang tadi diam mulai bekerja.

Shilla maju selangkah. “Lo mau maju atau hadangi tugas gue? Bakal gue bunuh cowok ini!”

Tidak ada yang berani menghentikan aksi jahatnya itu. Shilla dan lainnya merasakan ada tembok yang menghadang jalan mereka demi menyelamatkan Rio. Lalu, darah segar keluar dan pisau itu berubah menjadi merah karena darah segar itu.

“TIDAK !!!” Teriak Shilla histeris lalu pingsan seketika.

***
TBC....
Kalo ada yang aneh ato gak nyambung komen aja


Kalo mau baca dari part awal buka aja ya blogku : http://risedirectioners.blogspot.com
ato link notesku : http://m.facebook.com/notes/?id=100004086973604

Free Contact me : 083129582037 ( axis )

Makasiiii (:

Follow : @uny_fahda19
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar